TENTANG
KHOWARIJ
Makalah
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
Oleh:
Arif
Fauzi
1110033100037
Amirul
muttaqin
1110033100056
JURUSAN
AKIDAH FILSAFAT
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
M.
A.
Pemdahuluan
Aliran
Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian beralih
menjadi gerakan teologis, sehingga Khawarij menjadi aliran dalam teologi Islam
yang pertama, kaum khawarij dikenal sebagai sekelompok orang yang melakukan
pemberontakan terhadap imam yang sah yang diakui oleh rakyat “ummat”. Oleh
karena itu, istilah Khawarij bisa dikenakan kepada semua orang yang menentang
para imam, baik pada masa sahabat maupun pada masa-masa berikutnya. Golongan utama
yang terdapat dalam aliran Khawarij yakni: Sekte Al-Azariqoh dan Sekte
Al-Ibadiah
Islam
diyakini sebagai agama “rahmatan lial ‘alamin”,tetapi
ironisnya para penganutnya ternyata tidak selamanya bersifat posetif. Salah
satu buktinya adalah peristiwa tahkim, di mana peristiwa ini telah
membuat bencana bagi umat Islam sehingga terpecah, paling tidak menjadi “dua
kelompok besar”. Kelompok pertama adalah pendukung “Mauawiyah”
di antaranya adalah Amir bin As, sedangkan kelompok Islam kedua adalah
pendukung “Ali bin Abi Thalib”[1]
Perkekbangan
selanjutnya, kelompk Ali bin Abi Thalib menjelang dan setelah tahkim terpecah
menjadi dua, yaitu kelompok yang senantiasa setia kepada kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib, di antaranya adalah Abu Musa al-Asy’ari dan kelompok kedua, adalah
kelompok yang membelot atau keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Kelompok
ini, “meninggalkan barisan Ali bin Abi Thalib karena tidak setuju dengan sikap
Ali ibn Abi Thalib dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk
menyelesaikan persengketaan tentang khilafah dengan Mu’awiyah Ibn Abi
Sufyan”[2] .
Oleh karena itu, mereka menarik dukungannya dan sekaligus menentang Ali bin Abi
Thalib dan Mu’awiah bin Abi Sofian sekaligus.
Kelompok
ini dalam sejarah dikenal dengan kelompok Khawarij dan dipelopori olah ‘Atab
bin A’war dan Urwa bin Jabir[3]. Dari
sini, mulai muncul dan berkembang aliran-aliran pemikiran kalam [teologi]
yang dikenal sampai sekarang: oleh karena itu kami penulis makalah ini akan
menjelaskan tentan khowarij.
B. Pembahasan
A. Aliran Khawarij
Istilah
Khawarij berasal dari kata “kharaja” yang berarti keluar. Nama itu diberikan
kepada mereka yang keluar dari barisan Ali. Alasan mereka keluar, karena tidak
setuju terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menerima arbirtrase sebagai jalan
untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Muawiyah Bin Abi Sufyan. Khawarij
merupakan aliran dalam teologi Islam yang pertama kali muncul. Menurut
Asy-Syahrastani, bahwa yang disebut Khawarij adalah setiap orang yang keluar
dari imam yang hak dan telah disepakati para jema’ah, baik ia keluar pada masa
sahabat Khulafaur Rasyidin, maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.
Seperti telah
dikemukakan di atas bahwa Aliran khawarij terdiri atas pengekut-pengekut ‘Ali
ibn Talib yang meiggalkan brisannya, karena tidak setuju dengan sikap ‘Ali
dalam menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan
tentang khilafah dengan muawiyeh ibn abi Sufyan.[4]
B. Latar Belakang Kemunculan
Aliran
Khawarij muncul pertama kali sebagai gerakan politis yang kemudian beralih
menjadi gerakan teologis. Perubahan ini terutama setelah mereka merujuk
beberapa ayat Alquran untuk menunjukkan, bahwa gerakan mereka adalah gerakan
agama. dan secara terorganisir terbentuk bersamaan dengan terpilihnya pemimpin
pertama, Abdullah bin Wahab Al-Rasyibi, yang ditetapkan pada tahun 37 H. (658
M). Karena pertimbangan-pertimbangan politis, Fazlur Rahman memandang bahwa
Khawarij “tidak memiliki implikasi doktrinal yang menyeleweng, tetapi hanya
seorang atau sekelompok pemberontak atau aktifis revolusi”.
Persoalan
pergantian kepemimpinan ummat Islam (khalifah) setelah Rasulullah wafat,
menjadi titik yang jelas dari semakin berlarut-larutnya perbedaan pendapat dan
perselisihan di kalangan ummat Islam, bahkan menjadi isu akidah yang serius, sehingga
menyebabkan munculnya berbagai aliran teologi . Terpilihnya Ali sebagai
khalifah, menggantikan Usman, pertentangan dan peperangan diantara ummat Islam
tidak reda. Pada akhirnya, ada upaya perdamaian diantara yang bertikai
tersebut. Dua tokoh tampil, masing-masing mengatasnamakan sebagai juru pendamai
dan wakil dari pihak Ali dan Muawiyah, yakni Abu Musa Al-Asy’ari dan Amru bin
Ash.
Dalam sejarah
Islam, usaha perdamaian itu dikenal dengan “Majlis Tahkim”, dalam persengketaan
yang terjadi antara Ali dan Muawiyah pada perang Shiffin, suatu tempat di tepi
Sungai Efrat, yang menyebabkan tampilnya Muawiyah sebagai khalifah. Hasil
perdamaian tersebut, memunculkan kesepakatan bahwa Ali dipecat dari kursi
kekhalifahan, dan Muawiyah ditunjuk sebagai penggantinya. Setelah Muawiyah
diangkat menjadi khalifah inilah, maka muncul golongan-golongan politik
dilingkungan ummat islam, yakni Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah. Bermula dari
persoalan politik, akhirnya berubah menjadi persoalan teologis, masing-masing
saling menuduh dan mengeluarkan hukum dengan tuduhan-tuduhan kafir, dosa besar,
dan lain-lain, sampai memunculkan persoalan sumber perbuatan manusia, apakah
dari Tuhan atau dari diri manusia sendiri.
C. Faham-fahamnya
Pada masa
sebelum terjadinya perpecahan di kalangan Khawarij, mereka memiliki tiga pokok
pendirian yang sama, yakni : Ali, Usman, dan orang-orang yang ikut dalam
peperangan serta orang-orang yang menyetujui terhadap perundingan Ali dan
Muawiyah, dihukumkan orang-orang kafir. Setiap ummat Muhammad yang terus
menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka
dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim. Ada faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim. Ada faham yang sangat fundamental dari kaum Khawarij yang timbul dari watak idealismenya, yaitu penolakan mereka atas pandangan bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Demikian pula halnya, dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
Sebenarnya,
menurut pandangan Khawarij, bahwa keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat
dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya
manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua
manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam
segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada
keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Pengikut
Khawarij, pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di
padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersipat sederhana, baik
dalam cara hidup maupun dalam cara berfikir. Namun, sebenarnya mereka keras
hati, berani, bersikap merdeka, tidak bergantung kepada orang lain, dan
cenderung radikal. Karena watak keras yang dimiliki oleh mereka itulah, maka
dalam berfikir dan memahami agama mereka pun berpandangan sangat keras[5]
C. Penutup
Dapat kita
katakan bahwa Aliran khawarij merupakan Aliran si’ah. Yang mana mereka
merupakan sekelompok yang keluar dari si’ah sendiri,alasanya karena mereka memandang ‘Ali ibn Ab Talib
telah berbuat salah dan oleh karena itu mereka meniggalkan barisannya. Sehigga
mereka dikatakan golongan khawarij
D. Daftar Pustaka
-Harun Nasution,
Teologi islam, cetakan pertama 1972, cetakan kedua 1986, penerbit
Unifirsitas Indonesia(UI-Press)
[1] Atang Abd Hakim
dan Jaih Mubarok, 2001:153
[2] Harun
Nasution,1986:11
[3] al-Syahrastani,
t.th:114:6, dalam Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:153
[4]
Harun nasution, Teologi islam, penerbit Unifirsitas Indonesia(UI-Press)
hal 11.
[5]
Harun nasution, Teologi islam, penerbit Unifirsitas Indonesia(UI-Press)
hal 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar