REALISASI
IMAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
MAKALAH
Disusun
Untuk Memenohi Tugas
Mata
kuliah Ulumul Hadis
Oleh
Amirul
Muttaqin
1110033100056
Arif
fauzi fadlan
1110033100005
Rizkie
zulfikar
1110033100037
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M
I.
Pendahuluan
Berbicara
tentang iman, ini adalah perkara yang abstrak, hal yang berkenaan dengan hati
tentunya tidak satupun yang tahu akan sesuatu yang ada di dalamnya kecuali
individu masing-masing dan yang Maha menguasai setiap hati yakni Alloh SWT. Namun
sebagai manusia yang lemah (dha’if) kita dapat menilai apakah seseorang
itu benar-benar beriman yang baik atau tidak tentunya dapat dinilai dari
perbuatan baik maupun buruk yang nyata dalam kehidupannya. Karena iman tidak
hanya cukup dengan pengakuan hati tetapi harus tersosialisasi dalam
kehidupannya. Bila baik prilakunya itu adalah indikasi bahwa imannya bagus,
sebaliknya bila jelek berarti imannya rusak. Maka penting bagi kami untuk
membahas tentang hal tersebut
II.
Realisasi iman dalam kehidupan sosial
Kita
tidak mengetahui bahwa cinta sesama muslim merupakan hubungan horizontal yang masih dipupuk dan dilestarikan, bahkan dalam
sebuah hadits menyatakan, bila salah seorang di antara kamu sakit maka kita pun
mengalami hal yang sama, kita harus yakin seberat apapun beban yang ada di pundak akan terasa ringan bila kita
saling membagi
[1]Sabda
Rasulullah saw.
حَدَّثَنَا خَلاَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ
بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ
Khalad
bin Yahya telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Sofyan telah
menceritakan kepada kami dari Abi Burdah ibn ‘Abdillah ibn Abi Burdah dari
kakeknya dari Abi Musa dari Nabi saw. telah bersabda: “sesungguhnya antara
seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling melengkapi
(memperkokoh) satu sama lain.(H.R. Bukhari dan Muslim.)
Seorang
mukmin yang ingin mendapat ridha Allah swt. harus berusaha untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang diridhai-Nya. Salah satunya adalah mencintai sesama
saudaranya seiman seperti ia mencintai dirinya, sebagaimana dinyatakan dalam
hadits di atas.
Namun
demikian, hadits di atas tidak dapat di artikan bahwa seorang mukmin yang tidak
mencintai saudaranya seperti dirinya berarti tidak beriman. Maksud pernyataan.?
pada hadits di atas “tidak sempurna keimanan seseorang” jika tidak mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, haraf naïf,? pada
hadits tersebut berhubungan dengan ketidak sempurnaan.
Hadits
di atas juga menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai persaudaraan dalam
arti sebenarnya. Persaudaraan yang datang dari persaudaraan datang dari hati
nurani, yang dasarnya di penuhi dengan keimanan dan bukan hal-hal lain,
sehingga betul-betul merupakan persaudaraan murni dan suci. Persaudaraan yang
akan abadi seabadi imannya kepada Allah swt. dengan kata lain, persaudaraan
yang didasarkan Iillah, sebagaimana diterangkan dalam banyak hadits tentang
keutamaan orang saling mencintai karena Allah swt, di antaranya:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ
بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ مَعْمَرٍ عَنْ أَبِي الْحُبَابِ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ
يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِي الْيَوْمَ
أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي.(رواه مسلم(
Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada
kami dari Malik bin Anas sebagaimana dibacakankepadanya dari ‘Abdillah bin ‘Abd
al-Rahman bin Ma’mar dari Abi al-Hubab Sa’id bin Yasar dari Abu Hurairah
berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, “pada hari kiamat Allah swt. akan
berfirman: ‘dimanakah orang yang saling berkasih sayang karena kebesaran-Ku,
kini Aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat tiada naungan kecuali
naungan-Ku. (H.R. Muslim)
Orang
mencintai saudaranya karena Allah akan memandang bahwa dirinya merupakan salah
satu anggota masyarakat, Yang harus membangun tatanan untuk kebahagian bersama.
Apapun yang dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan, ia
anggap sebagi kebahagian atau kesengsaraannya juga. Dengan demikian, terjadi
keharmonisan hubungan antara individu yang akan memperkokoh persatuan dan
kesatuan.
a. Cinta sesame muslim
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ
حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ
لأَِخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .(رواه البخاري ومسلم وأحمد والنسائى).. النسائى : ادب
[2]Musaddad
telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yahya telah menceritakan
kepada kami dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw.
telah bersabda “tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)
Seorang
mukmin yang baik ialah apabila melihat kebaikan pada saudaranya, ia berharap
mendapatkan kebaikan yang sama tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari
saudaranya. Jika melihat kekurangan pada saudaranya, maka ia berusaha
memperbaikinya, sebab orang mukmin dengan orang mukmin ibarat satu anggota
tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.
Hadis di
atas tidaklah berarti bahwa seorang mu’min yang tidak mencintai saudaranya
seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman sama sekali. Pernyataan.? لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ pada hadis di atas
mengandung makna “tidak sempurna keimanan seseorang”
jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, harf
nafi (لا )pada
hadis tersebut bermakna ketidaksempurnaan.
Di sisi
lain, hadis di atas memberikan isyarat betapa besar penghargaan Islam terhadap
persaudaaraan. Demikian besarnya arti persaudaraan, maka Islam menjadikannya
sebagai salah satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang dimaksudkan
dalam hadis di atas bukan hanya saudara yang diikat hubungan nasab, tetapi
lebih dari itu, persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan keimanan.
Persaudaraan semacam ini adalah persaudaraan suci yang datang dari hati nurani,
yang dasarnya keimanan bukan motif-motif lain. Persaudaraan atas dasar keimanan
dan keislaman merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan luntur selama
keimanan dan keislaman tetap bersemayam di dalam hati dan diri seseorang
mukmin.
Seorang
saudara selalu siap menolong saudaranya seiman meskipun tanpa diminta bahkan
tidak jarang mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya.
Perbuatan baik seperti itulah yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt
Allah
swt. berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 92:
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan
Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
Sebaliknya,
orang-orang mukmin yang hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak memiliki
semangat ihsan terhadap
sesamanya, orang seperti itulah yang masuk dalam kategori tidak
sempurna keimanannya, meskipun mereka ta’at dalam menjalankan
kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Kesalehan seseorang tidak hanya diukur
dengan parameter ketaatan melaksanakan kewajiban individual terhadap al-Khaliq,
tetapi juga harus dibarengi dengan hablum minan nas yang baik.
Perlu
diingat kembali bahwa perintah untuk mencintai sesama muslim haruslah
senantiasa berada dalam semanga ketaatan kepada Allah. Tidaklah benar jika atas
alasan menolong sesama manusia sehingga mengabaikan rambu-rambu Tuhan, sebab tidak
ada ketaatan terhadap makhluk dalam mendurhakai Allah. Oleh sebab
itu, tidaklah dikategorikan berbuat baik kepada sesamanya jika pertolongan yang
diberikannya membantu orang tersebut dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah,
sebab dalam kondisi seperti itu berarti memposisikan makhluk pada posisi Tuhan.
b. Tidak mengganggu orang lain
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ
مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَقَالَ أَبُو مُعَاوِيَةَ
حَدَّثَنَا دَاوُدُ هُوَ ابْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ
اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَقَالَ عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ دَاوُدَ عَنْ عَامِرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه البخاري وأبوداودوالنسائى(
[3]dari
‘Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Nabi SAW. telah bersabda: “orang muslim
adalah orang yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan
tangannya dan orang yang hijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah
dilarang Allah swt. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan
Nasa’i)
Hadis di
atas tampak sangat singkat tetapi berisi pesan moral yang sangat sarat dengan
makna. Inti pesan dalam hadis tersebut ada dua, yaitu: membangun hubungan antar
manusia (hablum
minan nas) yang harmonis, dan membina aktivitas dalam bingkai
ketaatan kepada Allah (hamblum minallah). Yang tekandung
dalam hadis di atas adalah memberi motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku
baik terhadap sesamanya muslim dan tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun
hati. Mengingat pentingnya hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah
saw. menjadikannya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang
memberikan rasa tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang
muslim sejati.
Hadis di
atas tidaklah bertolak belakang dengan hadis tentang rukun Islam, yang nota
benenya jika telah terpenuhi maka seseorang sudah dianggap muslim. Hadis di
atas lebih berorientasi moral (moral oriented) bahwa muslim yang
sejati tidak hanya memenuhi rukun Islam secara formal, tetapi keislaman yang
benar ialah di samping terpenuhinya rukun Islam, juga harus senantiasa
tercermin dalam segala tingkah lakunya nilai-nilai moral yang islami.
Keislaman
seseorang belumlah dianggap sempurna dan sejati jika hanya terpaku pada ibadah
ritual sebagai kewajibannya terhadap Allah swt., lalu meremehkan hubungannya
dengan sesama manusia. Ajaran Islam tidak sepenuhnya berdimensi Ilahiyah,
tetapi juga berdimensi insaniyah, meskipun semuanya
bermuara kepada ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, berlaku baik kepada
sesama manusia juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang tidak dapat
diabaikan.
Menyakiti
sesama manusia mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Namun dalam hadis di atas
hanya menyebutkan dua anggota tubuh secara simbolik. Penggunaan tangan untuk
gangguan fisik kepada secara metafora karena tanganlah yang paling banyak
menyakiti manusia. Selain itu, lidah merupakan bagian dari anggota tubuh yang
paling banyak menyakiti hati sesama manusia.
Oleh
sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya sehingga
orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya.
Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa
disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya, merusak harta
bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Adapun
menyakiti orang lain dengan lisan, misalnya dengan memfitnah, mencaci,
mengumpat, menghina, dan lain-lain. Perasaan sakit yang disebabkan oleh lidah
lebih sulit dihilangkan daripada sakit akibat pukulan fisik. Tidak jarang
terjanya perpecahan, perkelahian, bahkan peperangan di berbagai daerah akibat
tidak dapat mengontrol lidah. Salah satu pepatah Arab menyatakan: سَلاَمَةَ الإِنْسَانِ فيِ حِفْظِ اللِّسَان (Keselamatan
seseorang terletak sejauhaman ia menjaga lisannya)
Dengan
demikian, seseorang harus berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dengan cara
apapun dan kapan pun. Sebaliknya, ia selalu berusaha menolong dan menyayangi
saudaranya seiman sesuai dengasn kemampuan yang dimilikinya. Hal itu karena
menjaga orang lain, baik fisik maupun perasaan sangat penting dalam Islam.
Mengingat
bahaya yang ditimbulkan oleh lisan, maka Allah swt. mengancam akan menggugurkan
nilai pahala sedekah seseorang yang senantiasa menyakiti hati sesamanya dengan
berbagai bentuknya. Sehubungan dengan hal ini.
Allah
swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah (2): 264:
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3sF{$#ur É©9$%x. ß,ÏÿYã ¼ã&s!$tB uä!$sÍ Ä¨$¨Z9$# wur ß`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ( ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. Ab#uqøÿ|¹ Ïmøn=tã Ò>#tè? ¼çmt/$|¹r'sù ×@Î/#ur ¼çm2utIsù #V$ù#|¹ ( w crâÏø)t 4n?tã &äóÓx« $£JÏiB (#qç7|¡2 3 ª!$#ur w Ïôgt tPöqs)ø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇËÏÍÈ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin
yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu
menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari
apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir,[4]
Setiap
muslim hendaknya berhati-hati dalam bertingkah laku. terhadap sesamanya
manusia. Allah sangat mencela segala bentuk perbuatan yang tidak proporsional.
Segala tindakan dan perbuatan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di
akhirat.
C.
Menghormati
tamu, tetangga dan bertutur kata yang baik
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ. (رواه البخارى
[5]“dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan
tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah
berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam” (H.R. Syaikhani dan Ibnu
Majah)
Hadis di
atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi
dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt. dan hari akhirat. Ketiga
ciri yang dimaksudkan adalah: memuliakan tamu, menghormati tetangga, dan
berbicara yang baik atau diam. Meskipun keimanan kepada Allah dan hari akhirat
merupakan perbuatan yang bersifat abstrak, namun keimanan tidak berhenti
sebatas pengakuan, tetapi harus diaplikasikan dalam bentuk-bentuk nyata. Hadis
di atas hanya menyebutkan tiga indikator yang menggambarkan sikap seorang yang
beriman, dan tidak berarti bahwa segala indikator keberimanan seseorang sudah
tercakup dalam hadis tersebut.
Demikian
pula, ciri-ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas tidaklah
berarti bahwa orang yang tidak memenuhi hal itu diklaim sebagai orang yang
keluar dari keimanan, sehingga orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga,
serta tidak berkata yang baik dianggap tidak beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Maksud hadis di atas bahwa ketiga sifat yang disebutkan dalam hadis termasuk
aspek pelengkap keimanan kepada Allah dan hari akhir-Nya. Ketiga sifat tersebut
di atas jika diwujudkan dengan baik, mempunyai arti sangat besar dalam
kehidupan sosial.
1.
Menghormati
Tamu
Yang
dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka
sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan
dan tidak memaksakan di luar dari kemapuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan
bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan
lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah. Hal itu didasarkan pada sabda
Rasulullah saw.: yang artinya [6]Diriwayatkan
dari abi hurairah r.a dia telah berkata: rashulallah SAW. Telah bersabda:
“barang siapa beriman kepada allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara
hanya dengan perkara yang baik atau diam. Barang siapa beriman kepada allah dan
hari akhir, hendaklah dia memuliakan tetangga. Dan barang siapa beriman kepada
allah dan hari akhir hendaklah dia memuliakan
Dalam
batas kewajiban tersebut, tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan
sesuai dengan kemampuannya tanpa ada unsur memaksakan diri. Pelayanan tamu
termasuk kategori nafkah wajib, dan tidak wajib kecuali bagi orang yang
mempunyai kelebihan nafkah keluarga. Selain itu, termasuk kategori memuliakan
tamu ialah memberikan sambutan yang hangat dan senantiasa menampakkan kerelaan
dan rasa senang atas pelayanan yang diberikannya. Sikap yang ramah terhadap
tamu jauh lebih berkesan di hati mereka dari pada dijamu dengan makanan dan
minuman yang mahal-mahal tetapi disertai dengan muka masam. Memuliakan tamu di
samping merupakan kewajiban, ia juga mengandung aspek kemuliaan akhlak. Sebaliknya,
seorang yang bertamu juga harus senantiasa memperlihatkan sikap koperatif dan
akhlak yang baik, sehingga orang yang menerimanya merasa senang melayaninya.
Adapun etika bertamu yang harus diperhatikan antara lain:
1. Masuk ke
rumah orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan atau memberi
hormat menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
2. Masuk ke
dalam rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu gerbang yang
sengaja disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
3. Ikut
berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama kegiatan
itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
4. Duduk
setelah dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga sendiri.
5. Duduk
dengan sopan.
Jika
tamu yang datang bermaksud meminta bantuan atas suatu masalah yang dihadapinya,
maka kita harus memberinya bantuan sesuai kemampuan. Bahkan meskipun tamu
bersangkutan tidak mengadukan kesulitannya jika hal itu kita ketahui, maka kita
berkewajiban memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang kita miliki. Jika
ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat
Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam.
Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan
masyarakat yang aman dan damai.
2.
Memuliakan
Tetangga
Istilah
tetangga mempunyai pengertian yang luas, mencakup tetangga yang dekat maupun
jauh. Tetangga merupakan orang-orang yang terdekat yang umumnya merekalah orang
pertama yang mengetahui jika kita ditimpa musibah dan paling dekat untuk
dimintai pertolongan di kala kita kesulitan. Oleh karena itu, hubungan dengan
tetangga harus senantiasa diperbaiki. Saling kunjung mengunjungi antara
tetangga merupakan perbuatan terpuji, karena hal itu akan melahirkan kasih
sayang antara satu dengan yang lainnya. Berbuat baik kepada tetangga dapat
dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan, memberikan pinjaman
jika ia membuthkan, menengok jika ia sakit, melayat jika ada yang meninggal,
dan lain-lain. Selain itu, sebagai tetangga kita juga harus senantiasa
melindungi mereka dari gangguan dan bahaya, memberinya rasa tenang. Dalam hadis
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi saw. menggambarkan
pentingnya memuliakan tetangga sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ
قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ
بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا زَالَ يُوصِينِي
جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ.
Isma’il
bin Abi Uways telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Malik telah
menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Sa’id, ia berkata Abu Bakr bin Muhammad
telah mengabarkan kepadaku dari ‘Amrah, dari ‘A’isyah r.a. bahwa Nabi saw.
bersabda: “Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk memuliakan)
tetangga sehingga aku menyangka bahwa Jibril akan memberi keada tetangga hak
waris”
Perintah
berbuat baik kepada tetangga juga disinyalir dalam berbagai ayat Alqur’an,
antara lain firman Allah dalam QS. An-Nisa (4): 36:
Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh[294[7]],
dan teman sejawat, Ibnu sabil[295[8]]
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membangga-banggakan diri,
Di antara akhlak yang terpenting kepada
tetangga adalah:[9]
1. Menyampaikan
ucapan selamat ketika tetangga sedang bergembira
2. Menjenguknya
tatkala sakit
3. Berta’ziyah
ketika ada keluarganya yang meninggal
4. Menolongnya
ketika memohon pertolongan
5. Memberikan
nasehat dalam berbagai urusan dengan cara yang ma’ruf, dan lain-lain.
Kenyataan
historis menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang sangat menghormati
hak-hak tetangga dalam perspektif Hak Asasi Manusia. Dalam hubungan ini,
kehadiran Muhammad sebagai pembawa ajaran Islam merupakan pembebasan manusia
dari berbagai bentuk penindasan manusia atas manusia. Dalam Piagam Madinah
dinyatakan sebagai berikut:
“Misalnya
(40) tetangga yang berdampingan rumah harus diperlakukan sebagai diri sendiri,
tidak boleh diganggu ketentramannya, dan tidak diperlakukan salah. (41) Tidak
seorangpun tetangga wanita boleh diganggu ketentraman atau kehormatannya,
melainkan setiap kunjungan harus dengan izin suaminya”.[10]
3.
Berbicara
Baik atau Diam
Berbicara
merupakan perbuatan yang paling mudah dilakukan tetapi mempunyai kesan yang
sangat besar, baik ataupun buruk. Ucapan dapat membuat seseorang bahagia, dan
dapat juga menyebabkan orang sengsara, bahkan binasa. Orang yang selalui
menggunkan lidahnya untuk mengucapkan yang baik, menganjurkan kebaikan dan
melarang perbuatan-perbuatan jelek, membaca al-Qur’an dan buku-buku yang
bermanfaat dan sebagainya, akan mendapatkan kebaikan atas apa yang
dilakukannya. Sebaliknya, orang yang menggunakan lidahnya untuk berkata-kata
jelek atau menyakiti orang lain, ia akan mendapat dosa, dan bahkan tidak
mustahil akan membawa bahaya dan kebinasaan bagi dirinya. Oleh sebab itulah
sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu
mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik.
Mengingat
besarnya bahaya banyak bicara, Rasulullah saw. mengemukakan nilai sikap diam.
Sehubungan dengan hal ini Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ أَ نَسٍ قَالَ :قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
ص.م: اَلصُّمْتُ حِكْمَة ٌوَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ
Dari
Anas, ia berkata, telah bersabda Rasulullah saw., “diam itu suatu sikpa
bijaksana, tetapi sedikit orang yang melakukannya.”[11]
Orang
yang menahan banyak berbicara kecuali dalam hal-hal baik, lebih banyak
terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang yang banyak berbicara tanpa
membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak pantas dibicarakan.
Bahkan, dinyatakan oleh Rasulullah saw. yang dikutip oleh Imam al-Ghazali:
مَنْ وَقَى شَرَّ قَبْقَبِهِ وَذَبْذَبهِ
وَلَقْلَقِهِ فَقَدْ وَقَى الشَرَّ كُلُّهُ. (رواه أبو منصور الديلمى عن أنس بسند
ضعـيف(
Barangsiapa
yang menjaga perut, farji, dan lisannya, maka dia telah menjaga seluruh
kejelekan.” (H.R. Abu Manshur al-Dailamy dari Anas dengan
sanad dha’if).
Ketiga
hal yang disebutkan di atas merupakan perbuatan paling banyak mengkibatkan
orang celaka yang salah satu di antaranya adalah banyak bicara. Namun demikian,
tidaklah berarti bahwa sikap diam itu selamanya baik, sebab hadis di atas
bukanlah memerintahkan untuk diam, tetapi hanya menyarankan untuk memilih diam
jika ucapan yang benar sudah tidak mampu diwujudkan. Yang paling bijaksana
adalah menempatkan kedua kondisi tersebut sesuai dengan porsinya dan sejauhmana
memberikan kemanfaatan.
III.
Penutup
Dengan
segala kerendahan diri dan kesadaran akan masih banyaknya kekurangan dalam
penulisan makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, mudah-mudahan bisa
bermanfaat dan barokah bagi kita semua. Amin
IV.
Daftar pustaka
1.
Muhammad
bin abdul Aziz al-Ghazali, al-adab al-nabawi, mustafa al-bab al-halabi, mesir
1960.
2.
Al-Quran
al-karim
3.
H.
Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad Saw; Konstitusi Negara
Tertulis Yang Pertama di Dunia, Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
4.
Haya
Binti Mubarak Al-Barik, Mausu’ah Al-Mar’atul Muslimah (penerjemah
Amir Hamzah Fachruddin (Jakarta: Darul Falah, t.t
5.
KH.
Mahalli Ahmad Mudjab, hadis-hadis muttafaq ‘alaih bagian ibadat, jakarta:
kencana,2003.
[1]
Al-adab al-nabawi hadist:25 hal:58
[2]
Al-adab al-nabawi 4
[3]
Al-adab al-nabawi:3
[4] Mereka
ini tidak mendapat manfaat di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak pula
mendapat pahala di akhirat.
[5]
Al-adab al-nabawi : 47
[6]
Hadis-hadis muttafaq ‘alaih bab:13
[7] [294]
Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan
kekeluargaan, dan ada pula antara yang Muslim dan yang bukan Muslim.
[8] [295]
Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan ma'shiat yang
kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.
[9] Haya Binti
Mubarak Al-Barik, Mausu’ah Al-Mar’atul Muslimah (penerjemah
Amir Hamzah Fachruddin (Jakarta: Darul Falah, t.t), h. 129.
[10]
H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Nabi Muhammad Saw; Konstitusi
Negara Tertulis Yang Pertama di Dunia, (Cet. I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1973), h. 28.
[11]
(H.R.
oleh al-Baihaqi, dengan sanad dha’if, dan memang betul bahwa hadis tersebut
mauquf sebagai ucapan Luqman Hakim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar