Senin, 26 Maret 2012

الادلة المختلف فيها


Pendahuluan
Ilmu Usul fiqih merupakan ilmu yang sanget dibutuhkan seseorang mujtahid didalamnya menjelaskan nas-nas dan mengelompokkan hukum yang tidak terdapat di dalam nas-nas  seperti apa yang akan saya coba menjelaskan yaitu: Maslahah al-mursalah, Saddud adariah, Qoulussohabah, Syarohah minqoblina, ‘Uraf, Al-ihtihsan, Al-ishtihsab,. Semua itu Dalil-dalil yang telah diperslisihkan. Dan pendapat-pendapat yang tidak disepakati para ulama’ sebagian
Al-Qur’an Maupun Asunah. Juga merupakan ilmu yang diperlukan oleh Qadhi didalam memahami isi Undang-undang secara lengkap, disamping pelaksanaan perundang-undangan secara adil sesuai maksud Syari’ yang terdapat didalamnya,
Oleh karena itu saya akan mencoba menjeskan masalah-masalah yang terdapat pada “dalil-dalil yang tidak disepakati atau diperselisihkan Ulama’. Dan pengertian-pengertian atau difinisi-definisi dari semua ini baik Maslahah al-mursalah, maopun Saddud adariah, dan Qoulussohabah, Syarohah minqoblina, ‘Uraf, Al-ihtihsan, Al-ishtihsab, Maka dari itu saya mohon maaf dengan segala kekeliruan dari Makalah ini kerena kami manusia lemmah (Dha’if) yang taklepas dari keliru dan kesalahan[1]
المصا لح المرسلة:
Menurut bahasa yaitu sesuatu yang mutlaq (tidak tertentu), sedangkan menurut istilah ulama’ ushul yaitu kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syariat dalam wujud hukum dalam rangka menciptakan kemaslahatan, di sampin itu,  juga tidak terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Oleh karena itu, ia disebut muthlaq karena tidak adanya dalil yang pasti.
Contoh : Kemaslahatan yang di ambil oleh para sahabat ini di dalam mensyariatkan adanya penjara, dicetaknya mata uang, penetapan hak milik pertanian, penentuan hak kepemilikan, serta masalah-masalah yang di dasarkan kebutuhan, kebaikan, serta keadaan yang belum ada syariat hukumnya. Dan di samping tidak adanya hokum yang membenarkan dan menyalahkan.
Berdasarkan pengertian tersebut baik secara istilah maupun bahasa. pembentukan hukum ini yang di lihat yaitu dari segi mashlahah dan mudhorot berdasarkan kehidupan manusia. Pembentukan hukum ini di sesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada masyarakat, baik dari segi lingkungan, maupun kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Adakalanya dalam suatu kondisi ia menguntungkan, namun dalam kondisi yang lain, malah merugikan.
Megenai masalah-masalah yang di tunut oleh keadaan dan lingkungan baru setelah berhentinya wahyu, padahal syari’ belum mensyariatkan masalah-masalah yang dikehendaki berdasarkan tuntutan tersebut. Disamping tidak terdapat dalil-dalil syara’ yang mengakui atau menyalahkan masalah-masalah tersebut bias disebut sebagai al-munasibul al-mursal atau al-maslahah al-mursalah.Misalnya: masalah-masalah tentang adanya kehendak pernikahan tanpa adanya pengakuan secara resmi yang dengan demikian pengingkaran terhadap perkawinan itu tidak dapat di terima.
Contoh yang lain, yaitu adanya transaksi yang tidak tercatat, tidak bisa di pakai sebagai dasar pemindahan yang di jadikan sebagai dasar masalah. Misal tersebut tidak di syariatkan oleh syari’ mengenai hukumnya , dan tidak dapat dalil-dalil syari’ yang tidak memberikan I’tibar, atau pembatalan atas permasalahan-masalan tersebut, dan itulah yang di sebut al-maslahatul al-mursalah.
Dalil-dalil ulama yang memakai al-maslahatul al-mursalah sebagai hujjah.
Jumhuru al-Ulama’ mengajukan pendapat bahwa masalah mursalah merupakan hujjah syari’at yang dipakai sebagai pembentukan hukum mengenai kejadian atau masalah yang hukumnya tidak ada dalam nash atau ijma’, atau qiyash, istihsan, maka disyari’atkn menggunkan mslahat al-mursalah. Dan pembentukan hukum berdasarkan maslahah al-mursaah ini tidak berlangsung terus lantaran diakui oleh syara’.
Dalil yang dipakai oleh para ulama yaitu antara lain:
a.       Kemaslahatan umat manusia itu sifatnya selalu actual yang tidak ada habisnya. Karenanya, jika tidak ada syariat hukum yang berdaarkan masalah mursalah berkenaan dengan masalah baru dan tuntutan perkembangan, maka pembeukan hukum hanya akan terkunci berdasarkan masalah yang mendapatkan pengakuan syari’. Dengan demikian, kemaslahatan yang dibutuhkan umat manusia disetiap tempat dan masa menjadi terabaikan. Berarti, pembentukan hukum tidak mengikuti atau memandang perkembangan kemashalatan umat manusia. Hal tersebut tidak cocok dan tidak sesuai dengan maksud syariat yang selalu ingin mewujudkan kemaslahan bagi seluruh umat manusia.
b.      Orang-orang yang menyelidiki pembentukan hukum yang dilakukan oleh para sahabata, tabi’en dan para mujahid, maka akan tampak bahwa merak ini telah mensyariatkan hukum dalam rangka mencari kemaslahatan dan bukan lantaran adanya pengakuan sebagai saksi, misalnya abu bakar yang melakukan pengumpulan lembaran yang berserakan memerangi para pembangkang penuaian zakat, dan mengusulkan pengangkatan umar bin khattab sebagai khalifah pengganti abu bakar.
Kemaslahatan yang menjadi tujuan dari pensyariatan hukum ini, disebut sebagiai masalah mursalah, para ulama’ bedasarkan pada masalah didalam mensyariatkan hukum lantran mengandung nilai maslahah, disamping tidak adanya dalil syara’ yang menyalahkannya, namun demikan, didalam pembentukan hukum tersebut mereka tidak semata-mata memandang dari segi masalah tetapi lantaran aday syara’ yang mengakuinya,
Imam al-ghazali mengatakan para sahabat telah melakukan berbagai hal lantaran meninjau dari segi masalah mursalah, bukan lantaran adanya pengakuan sebagai saksi”. Dan juga ibnu akil mengatakan, “siasah yaitu setiap tindakan yang mengantarkan manusia untuk lebih dekat dengan kebaikan, dan menjauh dari mafsadah, walaupun rasul tidak menetapkan, atau wahyu tidak ada yang turun yang berkenaan dengan hal tersebut. Siapa saja yang mengatakan bahwa siasah adalah syara’ saja yang mengajarkan, maka hal itu merupakan kesalahan, sekaligus membatalan syari’at para sahabat.
Syarat-syarat untuk bisa di pakai sebagai hujjah
Dalam menggunakan masalah mursalah sebagai hujjah, para ulama’ bersikap sangat hati-hati (ikhtiyat) sehingga tidak menimbulkan pembentukan syari’at berdasarkan nafsu dan keinginginan tertentu. Berdasarkan hal tersebut, maka para ulama menyusun syarat-syarat sebagai dasar pembentuka hukum. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut:
a.       Harus benar-benar merupakan maslahah, maksudnya ialah agar bisa diuwjudkan pembentukan hukum suatu masalah atau peritiwa yang mlahirkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan.
b.      Masalah itu bersifat umun, bukan bersifat program. Maksudnya, bahwa dalam kaitannya dengan pembentukan hukum terhadap suatu kejuadian atau masalah dapat melahirkan kemanfaatan bagi kebanyakan umat manusia yang benar-benar dapat teruwujud.
c.       Pembentukan hukum denngan mengambil kemashlahatan ini tidak berlawanan dengan tata hukum atau dasar ketetapan nash dan ijma’. Karena itu, tuntutan kemashlahatan untuk mempersamakan antara anak laki-laki dan wanita dalam hal pembagian harta warisan merupaka masalah yang tidak bisa di benarkan. Sebab masalah yang demikian itu adalah batal.
Keraguan Orang yang tidak menggunakan al-mashlahah al-mursalah sebagai hujjah
Sebagian ulama berpendapat bahwa masalah mursalah itu pengakuannya dan pembatalannya tidak bedasarkan saksi syara’, karena masalah mursalah tidak bisa di pakai sebagai dasar pembentukan hukum. Alasan mereka itu sebagai bberikut:
a.       Syari’atlah yang akan memelihara kemashlahatan umat manusia dengan nash-nash dan petunjuk-petunjuk qiyash, sebab syariat tidak akan berlaku menyia-nyiakan manusia. Dengan kata lain, membiarkan adanya masalah dengan tidak menunjukkan pembentukan hukumnya. Jadi, sifat dugaan yang di pakai seagai dasar pembentukan hukum tidak bisa di gunakan sebagai mashlahah mursalah.
b.      Pembentukan hukum berdasarkan harusnya ada mashlahah merupakan terbukanya pintu nafsu antara para pemimpin, penguasa , dan ulama’, fatwa(mufti). Dengan demikian, sebagian diantara mereka terkadang kalah dengan hawa nafsu dan keinginannya. Sebagai akibatnya, mereka bisa menghalalkan mafsadah untuk kemashlahatan. Disamping itu, mashlalah merupakan pesoalan yang sifatnya perkiraan yang berbeda berdasaarkan pendapat dan kondisi lingkungan. Jadi, dibolehkannya membentuk hukum dengan dasar kemashlahatan secara muthlaq itu membuka pintu kesejahteraan.
Ibnu Qayyim mengatakan,” sebagian ummat islam terlalu berlebih-lebihan di dalam memelihara mashlalah murslah, sehingg  mereka menganggap syari’at sebagai aturan yang sempit dan tidak bisa berlaku pada kemashlahatan hamba. Maka dari itu, mereka telah mghalangi dirinya sendiri untuk menempuh jalan keadilan dan kebenaran. Sebagian mereka malahan berlebih-lebihan memperkenankan sesuatu dengan tidak menghiraukan syariat Allah yang idak mengakibatkan tumbuhnya kejahatan dan kerusakan.[2]
سدالذريعة:
Pengertian Saddu al-Dzari’ah (sumber pokok) adalah Menurut etimilogi, dzari’ah berarti wasilah (perantara). Sedangkan menurut istilah atau terminologi, yaitu sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang di haramkan atau di halalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang di kenakan pada dzari’ah  selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Maksudnya, perbuatan yang membawa ke arah yang mubah adalah mubah, perbuatan yan membawa ke arah yang haram adalah haram, dan begitu seterusnya.
Misalnya saja Zina adalah Haram, maka melihat aurat wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina adalah haram juga. Dan juga Shalat jum’at adalah wajib (fardlu), maka meninggalka jual beli guna memenuhu kewajiban melaksanakan ibadah shalat jum’at adalah wajib, karena hal itu merupaka dzari’ah, dan seterusnya.
            Untuk lebih jelasnya, dapat di kemukakan disini bahwa sumber ketetapan hukum terbagi menjadi dua bagian.
1.      Maqashid (tujuan atau sasaran) yakni perkataan yang mengandung mashlahah atau mafsadah.
2.      Masaail (perantara), yaitu jalan atau perantaraan yang membawa kepada maqashid, yang mana hukumnya mengikuti hukum dari perbuatan yang menjadi sasarannya(maashid), baik berupa halal atau haram.
Hanya saja dari segi derajat atau tingkatan hukumnya, ketetapan hukum terhadap wasail lebih ringan di banding ketetapan hukum yang terdapat pada maqashid. Imam al-Qarafi berkata bahwa wasilah kepada maqashid yang paling buruk adalah seburuk-buruk wasilah, dan yang paling baik sebaik-baik wasilah. Dan wasilah kepada maqashid yang bertentangan adalah pertengahan pula. Dengan demikian, yang menjadi dasar diterimanya dzara’i(jamak dari dzari’ah) sebagai sumber pokok hukum islam ialah tinjawan terhadap akibat suatu perbuatan. Perbuatan yang menjadi perantara mendapatkan ketetapan hukum sama dengan perbuatan yang menjadi sasarannya, baik akibat perbuatan itu dikehendaki atau tidak di kehendaki terjadinya. Apabila perbuatan itu mengarah pada sesuatau yang di perintahkan (mathlub), maka ia menjadi mathlub (di perintahkan). Sebaliknya, jikalau perbuatan itu mengarah kepada perbuatan buruk, maka ia menjadi terlarang.
Perbuatan dilihat dari segi akibatnya terbagi menjadi Empat macam sebagai berikut:
1.      Perbuatan yang secara Qath’I (pasti) mendatangkan mafsadah atau kerusakan. Seperti menggali sumur di belakang pintu rumah di jalan yang gelap, di mana sekiranya ada orang yang masuk ke rumah itu dipastikan jatuh ke sumur tersebut.
2.      Perbuatan yang memungkinkan kecil (jarang) kan mendatangkan  mafsadah, seperti menjual makanan yang pada umumnya tidak membahayakan atau menanam anggur, meskipun pada akhirnya buah anggur tersebut mungkin dip roses oleh orang lain untuk di jadikan arak, sebab kemanfaatan yang di peroleh oleh perbuatan iu lebih besar dari pada kemudhorotan yang menjadi akibat sampingannya dengan kata lain bahayanya terhitung kecil di banding kemanfaatannya, dan perbuatan semacam ini adalah halal.
3.      Perbuatan yang kadar kemungkinan terjadinya kemafsadatan tergolong dalam kata gori persangkaan yang kuat(ghalabath al-dzon), tidak sampai pada kata gori keyakinan yang pasti(ilmul al-yaqin), tidak pulaterhiung inadzir(jarang). Dalam hal ini, persangkaan kuat disamakan dengan keyakinan yang pasti, sebab saddu al-dzari’ah (menutup perantara) mengharuskan untuk berhati-hati semaksimal mungkin untuk menghindarkan dari kemafsadatan. dan tidak di raguka lagi, bahwa ikhtiyat (hati-hati) mengharuskan menggunakan persangkaan kuat( ghalabati al-dzon), sebab, persangkaan mengenai hukum-ukum yang bersifat praksis (‘ammaly) mempunyai kedudukan sama dengan yakin.
4.      Perbuatan yang juga dikerjakan kemungkinan besar akan mendatangkan mafsadat, akan tetapi tidak sampai pada tingkat persangkaan kuat apalagi ke tingkat keyakina yang pasti. Hal ini biasanya terjadi dalam bentuk jual- beli yang bisa di jadikan dzari’ah (perantaraaan atau sasaran) untuk melakukan perbuatan Riba.
Bagian yang ke empat ini termasuk masalah yang di perselisihkan para ulama: apakah dianggap sebagai dzri’ah yang berakibat kerusakan sehingga tasharruf  itu batal, dan perbuatan itu haram karena mengutamakan segi kemafsadatannya atau tidak di anggap sebagai dzari’ah, sehingga akad tersebut tidak batal, dan perbuatan itu tidak haram karena berpegang kepada hukum asal.
Imam Abu hanifah dan Imam Syafii menggunakan segi idzi tidak mengaharamkan perbuatan itu, dan tidak membatalkan tasharrufnya, alasannya karena kerusakannya bukan yang dominan sehingga tidak di utamakan. Selain itu, asas dalam menetapkan hukum haram atau batal ialah jika perbuatan itu merupakan dzari’ah  terhadap perbuatan yang bathil, fasid, serta haram. Sedangkan Imam Malik dam Ahmad Bin-hambal menetapkan bahwa perbuatan itu adalah haram, dan akadnya batal dalam rangka ikhtiyath oleh karena banyaknya kemudlorotan di samping hukum asal berupa idzin, maka disini terdapat dua huku asal yang saling berhadapan. Disatu pihak, berupa idzi yangh asli, dan di lain pihak, hukm asal kemudharatan yang merupakan asal perbuatan atau akad yang menimpa dan menyakitkan orang lain, karena kemungkinan terjadinya kemafsadatan relative besar, maka disini yang di unggulkan adalah dari segi kemudharatanya, sebab kemudharatan itu didahulukan atas menarik kemashlahatan.
Dzarai’ merupakan sumber pokok hukum islam yang di pakai para ulma secara consensus. Perbedaan pendapat hanyalah terletak pada penentuan kriterianya. Mereka pada prinsipnya sebenarnya tetap sepakat bahwa dzari’ah adalah merupakan sumber pokok yang di akui dan berdiri sendiri.[3]
فتح الذريعة
Maaf dalam pembahasan ini kami tidak menjelaskan, karena data dari makalah kami Hilang sehingga kami tidak bisa melampirkan pembahasan Fathudzariah ini.
قول الصحابة:
Sepeninggal  Rasulullah SAW., maka rasul memberi fatwa dan membentuk hukum-hukum islam untuk kepentingan ummat islam dan para sahabat yang benar-benar sudah lekat dengan fiqih dan ilmu agama. Serta lantaran akrabnya mereka dengan Rasulullah SAW di dalam pergaulan sehingga mampu memahami Al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Para sahabat telah mengaluarka fatwa mengenai barbagai kaidah dan permasalahan yang syanget banyak, begitu juga para tabi’in dan tabi’u’t-tabi’in secara teliti memperhatikan peristiwa dan pentadwinan sehingga diantara mereka tardapat yang berupaya untuk membukukanya, bersama dengan pembukuan sunah-sunah Rasul karena apakah fatwa-fatwa para sahabat ini termasuk sumber pembentukan hukum islam yang sama dengan nas. Jika mujtahid haruskembali pada fatwa tersebut sebelum kembali pada kiyas? Atau apakah pendapat tersebut merupaka individu sehingga tidak dapat sebangai hujjah?
Jadi mengenai pembahasan ini tidak terdapat pendapat mengenai ucapan-ucapan para sahabat dengan permasalahaan yang tidak bisa dijangka oleh akal untuk dipakai sebagai hujjah bagi ummat islam. Hal ini  lantaran perkataan tersebut di ucapkan berdasar pendengaran mereka dari Rasulullah
Contohnya perkataan Aisyah: “di dalam perut ibu, kandungan itu tidak berdiam melebihi dua tahun, berdasarkan ukuran yang bisa merubah bayang-banyang alat tahun”
Misal tersebut tidak bisa dipakai sebangai tempat ijtihad dan mengemukakan pendapat, sebab apabila pendapat itu benar pasti sumbernya dari Rasulullah SAW. Maksudnya adalah perkataan itu merupakan Asunnah walaupun yang mengucapkan adalah sahabat.
Perbedaan itu hanya ada pada perkataan sahabat yang didasarkan pada ra’yu, yang sekaligus tidak tedapat kesepakatan diantara para sahabat itu sendiri.[4]
شرع من قبلنا :
Jika Al-Qur’an dan Asunah yang benar itu mengesahkan atau menceritakan syaria’ atau hukum syara’ bagi ummat sebelum kita melalui utusanya, dan didalam nas juga ditetapkan sebagai syariat untuk kita seperti diwajibkanya kepada Orang-orang sebelum kita, maka hal tersebut tidak terdapat perbedaan bahwa syariat tersebut merupakan syariat dan Udang-undang yang wajib kita taati dengan menetapkan sebagai syariat.
Misalnya firman allah SAW. Surah Al-baqorah ayat 183
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
Dan jika Al-Qur’an dan Asunnah telah mengesahkan hukum-hukum tersebut, dan terdapat nas yang menghapus berlakunya untuk kita, juga tidak ada perbedaan, hal tersebut bukanlah merupakan syariat untuk kita berdasarkan dalil yang menghapuskanya. Misalnya syariat yang diwajibkan kepada nabi musa dan umat-nya, bahwa manusia durjana tidak akan mendapat penebusan dosa, kecuali jika ia membunuh dirinya sendiri. Pakayan yang terkena najis, tidakbisa disucikan kecuali harus membuang atau memutong bagian yang terkena najis. Dan masih banya lagi hukum-hukum yang merupaka syariat bagi orang-orang sebelum kita. Tetap telah dihapus berlakuya untuk kita.
Yang menjadi awal berbedaan pendapat, ialah hukum-hukum syari’at orang-orang yang terdahulu yang Allah SWT dan Rasul SAW kisahkan kepada kita, tetapi di dalam syariat yang berlaku untuk kita tidak disebutka bahwa hal itu merupakan kewajiban bagi kita sebagai mana diwajbkanya kepada merika atau dihapuskan.
Maisalnya firman alla SAW. Surah Al-maidah ayat 32
ô`ÏB È@ô_r& y7Ï9ºsŒ $oYö;tFŸ2 4n?tã ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ¼çm¯Rr& `tB Ÿ@tFs% $G¡øÿtR ÎŽötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7Š$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù Ÿ@tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 ôs)s9ur óOßgø?uä!$y_ $uZè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ¢OèO ¨bÎ) #ZŽÏWx. Oßg÷YÏiB y÷èt/ šÏ9ºsŒ Îû ÇÚöF{$# šcqèùÎŽô£ßJs9 ÇÌËÈ  
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain[411[5]], atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya[412[6]]. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu[413[7]] sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Jumhuru Al-Ulama’ Hanafiah dan sebagian ulama’ Malikiah serta ulama’ Syafiiyah mengatakan bahwa hukum tersebut juga sebagai syariat untuk kita dan kita berkewajiban mengekuti dan melaksanakan, lantaran hukum tersebut telah dikisahkan kepada kita dan tidak ada syariat yang menghapuskanya. Sebab, hukum tersebut merupakan bagian dari hukum-hukum Allah SAW yang disyariatkanya melaluai Utusanya. Di sampinga itu Allah SAW juga telah mengesahkan kepada kita. Selain itu tidak terdapat dalil yang menghapuskannya, sehingga bagi setiap mukallaf wajib mengekutinya. Karnanya, ulama’ hanafiah berdalil bahwa pembunuhan itu bersifat umum, tampa memandang yang dibunuh itu muslim adau kafir dzimmi, laki-laki atau wanita. Pembunuh tetap dihukumi sebagai pembunuh berdasarkan ayat:
النفس بالنفس
“jiwa dibalas dengan jiwa”
            Sebagian ulama’ mengatakan bahwa syarita yang berlaku untuk kita ini tenghapus syariat orang-orang sebelum kita, melainkan jika syariat kita terdapat ketetapanya. Akan tetapi, yang benar adalah pendapat yang pertama, lantaran syariat kita hanyalah menghapuskan syariat terdahulu terhadap syariat yang bertentangan dengan syariat kita, disamping nas Al-Qur’an yang merupakan hukum syara’ terdahulu dan tidak ada nas yang menghapus dapat dipaham merupakan pembentukan hukum yang berlaku untuk kita. Sebab, hukum tersebut merupak ketentuan tuhan yang disampaikan oleh rasul kepada kita, dan tidak terdapat dalil yang menghapus berlakunya bagi kita. Disamping itu. Karna al-quaan juga membenarkan kitab-kitab yang turun sebelum Al-Qur’an, seperti Taurat, Injil, dan Zabur. Dengan demikian, nas yang tidak memnghapus hukum yang terdapat pada tiga kitab tersebut merupakan ketetapan hukum.[8]
العرف
Pengertian ‘Urf
            ‘Urf   adalah segala sesuatu yang telah di kenal di kalangan manusia yang sudah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut sebagai Adat (kebiasaan). Sedangkan menurut ahli syara’, ‘Urf  bermakna Adat, atau antara ‘ufr dan Adat itu tidak ada perbedaannya. Karenanya, ‘urf mengenai perbuatan manusia, misalnya jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan sighat. Untuk ‘urf yang bersifat ucapan atau pekataan misalnya, saling pengertian terhadap pengertian al-walad yang lafadz tersebut mutlaq berarti laki-laki, dan bukan wanita. Dengan demikian, ‘urf itu merupakan saling pengertian manusia terhadap tingkatan mereka yang berbeda-beda, tentang keumuman maupun kekhususannya. Dalam hal ini memang sangat berbeda dengan ijma’, sebab ijma’ itu merupakan kebiasaan kesepakatan para mujtahid secara khusus atau umum yang tidak menciptakan adanya ‘urf.
Macam-macam ‘Urf.
‘Urf ini diklasifikasikan menjadi dua macam sebagai berkut:
 Pertama‘Urf Shahih yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia yang tidak berlawanan dengan dalil syara’, di samping idak menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban. Misalnya saling pengertian manusia atau kebiasaan manusia mengenai transaksi borongan, saling pngertian tentang jumlah mas kawin (mahar), apakah mahar itu dibayar kontan atau hutang, serta pengertian tentang istri yang tidak di perkenankan “menyerahkan” dirinya kepada suami, melainkan jika sebagian mahar telah di bayar.
kedua‘Urf Fasid  yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syara’, atau menghalalkan yang haram, atau menggugurkan kewajiban. Misalnya manusia saling pengertian melakukan peruatan negative dalam hal upacara kelahiran anak dan dalam hal kedudukan, serta hubungan riba dan perjanjian perjudian.
Hukum Hukum ‘Urf
‘Urf Shahih haruslah di lestariakan dalam kaitannya dengan upaya pembentukan hukum dan proses peradilan. Para mujtahid karena sudah tentu harus melestarikan atau memelihara ketika berupaya membentuk hukum. Bagi seorang qhadi, harus memeihara ketika proses peradilan berlangsung. Sebab, segala sesuatu yang sudah saling di mengerti oleh manusia yang tidak menjadi tradisi, tetapi hal tersebut telah menjadi kesepakatan dan dianggap sebagai kemashlahatan serta tidak kontradiksi dengan syara’, maka harus di pelihara. Dalam hal ini, syari’ juga telah memelihara ‘urf  bangsa arab yang di dalam pembentukan hukum. Seperti wajibnya membayar  diyat terhadap wanita berakal, syarat kafaah bagi berlangsungnya pernikahan, juga hitungan ashabah dalam masalah kematian dan pembagian waritsan.
Dalam hal ini, ulama berpendapat bahwa adat adalah syari’ah muhkamah, dan berdasarkan syara’, urf   itu memiliki I’tibar . Imam Malik, mengambil dasar pembentukan hukumnya kepada amal yang di lakukan penduduk Madinah. Abu Hanifah berbeda pendapat dalam ketetapan hukumnya lantaran perbedaan ‘urf. Ketika Imam Syafi’I berada di Mesir, merubah sebagian hukum yang telah ditetapkan di Baghdad. Hal itu lantaran perbedaan ‘urf, sehingga ia mempunyai dua qoul, yaitu  qoul qodim, dan qoul  jadid.
Mengenai ‘urf fasid tidak harus di pelihara atau di lestarikan. Sebab, pemeliharaan terhadap ‘urf fasid berarti menentang hukum syara’, atau membatalkan ketentuan syara’. Karenanya, jika manusia mngerti tentang akad yang rusak, seperti akad melakukan riba, penipuan, dan akad-akad yang berbahaya, maka akad-akad tersebut tidak bisa di pakai sbagai ‘urf. hukum-hukum yang berdasarkan ‘urf, bisa berubah berdasarkan perubahan ‘urf itu sendiri pada suatu masa atau perubahan lingkungan. Maka para fuqaha’, mengatakan dengan contoh tenten perselisihan, bahwa perselisihan adalah perbedaan masa dan tempat, bukan merupakan perbedaan hujjah atau burhan.
Berdasarkan pembenaran dalil syara’, ‘urf itu pada umumnya termasuk pemeliharaan maslahah mursalah yang dipelihara di dalam pembentukan hukum. Juga di pelihara dalam hal menafsiri nash-nash, atau takhsish terhadap lafadz ‘am, dan pembatasan terhadap lafadz muthlaq. Dan juga kadang-kadang, qiyas bisa di tinggalkan lantaran diberlakukannya ‘urf. karenanya, mengadakan kontrak borongan itu di anggap sah lantaran berlakunya ‘urf. walaupun berdasarkan qiyash, hal itu tidak bisa di benarkan lantaran kontrak tersebut merupakan kontrak ma’dum.[9]
الاحتحسان
Istihsan adalah sumber hukum yang banyak di pakai dalam terminologi dan istinbaht hukum oleh dua madzhab, yaitu imam Malik dan imam Abu hanifah. Bahkan imam malik menilai pamakayan istihsan merambah 90% dari seluruh ilmu (Fiqih)
Imam Abu al-Hasan al-Karkhi mengemukakan definisi, bahwa istihsan. Ialah: “penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyempang dari ketetapan hukum yang di terapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang memnghendaki dilakukannya penyempangan itu, di antara defines-difinisi  istihsan yang ada, difenisi ini adalah yang paling kena dalam menjelaskan hakekat istihsan dalam pandangan madzhab hanafiy. Sebab definisi tersebut bisa mencakup seluruh macam ihtihsan serta dapat menyentuh pada asas dan inti pengertiannya.
            Definisi itu memberiakan gambaran bahwa ihtihsan, apapun bentuk maopun semacamnya, terbatas pada madzhab juzs’iyyah  dengan kata lain seorang ahlih fiqih dalam memecahkan masalah juz’iyyah itu terpaksa menggunakan dalil istihsan agar tidak terjadi pemakaian kaidah yang tidak lain adalah qiyas secara berlebihan (melampui batas) hingga terjatuh dari ruh dan ma’na syara’.
            Mengenai definisi istihsan menurut madzhab Maliki, para ulama masih berbeda penndapat. Ibnu Araby mengatakan” istihsan aialah memilih meninggalkan dalil, dan mengambil  rukhshohi dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan deangan dalil lain pada sebagian kasus tertentu. Menurut maliki, istihsan di bagi menjadi empat  macam yaitu sebagai berikut:
1)      Meninggalkan dalil karena ‘Urf
2)      Meninggalkan dalil karena ijma’
3)      Meninggalkan dalil karena mashlahah
4)      Meninggalkan dalil karena untuk meninggalkan dan untuk menghindarkan masyaqqah.[10]
الاستصحاب :
Pengertian istishab Menurut etimologi, istishab berarti persahabatan dan kelenggangan persahabatan. Sedangkan menurut istilah, yaitu terdapat dua definisi yang keduanya memenuhu criteria sebagai definisi yang jami’(comprehensive, mencukup seluruh afrodnya). Imam as-Syaukany di dalam kitabnya irsyadul al-fuluh menemukakan definisi bahwa istishab adalah dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya. Dalam pengertian ketetapan di masa lampau berdasarkan hukum asal, tetap terus berlaku untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
Ibnu Qayyim berpendapat bahwa istishab  adalah melestarikan yang sudah positif, dan menegaskan yang negative (tidak berlaku), dengan kata lain bahwa hukum asal akan tetap berlaku dengan sendirinya, baik yang positif maupun yang negative, sepanjang belum ada dalil yang merubah ketentuan hukumnya. Sebagai contoh: masalah penetapan hak milik atas barang yang dibuktikan, misalnya melalui pembelian, pewarisan, hibah, ataupu wasiat. Hak milik terus berlangsung untuk selamanya sampai ada dalil yang menunjukkan adanya pemindahan hak milik, atau yang semisalnya.
Berbeda dari sumber-sumber hukum yang lain, istishab  didasarkan pada prasangkaan yang kuat bahwa kelangsungan atau continuitas stastus mengharuskan contonoitas hukum. Oleh karena itu, hukum ini tidak bisa di pandang sebagai dalil yang kuat untuk istinbath  hukum. apabila bertentangan dengan dalil, maka istinbath  haruslah di nomer dua-kan. Dalam kaitannya dengan hal ini, Imam al-Khawarizmi berkata bahwa istoshab meruakan alternative terakhir untuk fatwa (setelah tidak di temukan pada sumber-sumber lain). Seorang mufti  jika di Tanya tentang suatu masalah (kejadian), maka ia secara berurutan mencari ketetapan hukumnya dari al-Kitab (al-Qura’an), sunnah, ijma’, atau qiyash. Jika dari keempat hukum tersebut tidak ditemuka sumber hukumnya, maka ia baru menetapkan dalil istishab, baik bersifat negative maupun positive.
Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai adanya dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal suatu perkara adalah haram, maka hukum asalnya juga haram sampai terdapat dalil yang memperbolehkannya, misalnya seperti ikatan pekawinan.
Pembagian Istishab
Istishab  dibagi menjadi empat bagian sebagai berikut:
1)      .Istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah (kebebasan dasar) yang oleh Ibnu Qayyim diberi istilah Bara’ah al-‘Adam al-Ashliyyah seperti bebas dari beban-beban kewajiban(taklif) syar’I sampai ada dalil yan menunjukkan adanya taklif. Anak kecil bebas dari takilf sampai ia sampai usia baligh, dan lain sebagainya.
2)      .Istishab yang diakui eksistensinya oleh syara’ dan akal, seperti istishab mengenai pertanggungan hutang sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa hutang itu telah dibayar atau dibebaskan. Contoh lain, kewajiban pembeli untuk membayar harga bayar sebagai konsekwensi adanya transaksi jual-beli sampai adanya indikasi bahwa ia telah membayarnya, dan seterusnya.
3)      .Istishab hukum, yaitu apabila dalam kasus itu sudah ada ktentuan hukumnhya, baik mubah atau haram. Ketentuan hukum it uterus berlaku hingga ada dalil yang mengaharamka dalam hal perkara mubah, dan hingga ada dalil yang membolehkan dalam hal perkara haram. Sebab hukum asal segala sesuatu adalah mubah selain urusan harta dan kehormatan, hukum mubah ini ditetapka berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqaroh ayat 29.
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ  
 Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
4). Istishab sifat, seperti sifat hiup bagi orang hilang. Sifat ini dianggap memelekat pada orang hilang sampai ada indicator atas kematiannya. Kafalah (jaminan atau tanggungan) adalah sifat syar’I yang melekat pada orang yang menaggung sehingga ia membayar hutangnya atau orang yang mengatas namakan dirinya atau pihak yang menghutangi membebaskan dari kewajiban mengagung, dan demikian seterusnya.[11]

Kehujjahah istishab
Istishab merupakan dalil syara’ terahir yang di pakai mujtahid sebagai dalil untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang dihadapkan kepadanya. Ulama’ usul berpendapat bahwa istishab pada dasarnya merupakan tempat berputarnya fatwa yang terahir untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan selama tidak terdapat dalil yang merubah. Hal tersebut merupaka metode dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan atau adat manusia pada seluruh memeliharaan dan penetapan mereka. Karnya jika seseorang mengetahui adanya seorang yang hidup. Maka ia itu dihukumi hidup. Dan dasar hidupnya itu dipelihara hingga terdapat dalil yang menunjukkan tidak hidupnya. Orang yang mengetahui tentang wujud sesuatu. Maka dihukumi sesuatu itu berwujud seingga ada dalil yang menyatakan tidak wujudnya dan siapapun yang mengatahui tentang tidak adanya sesuatu maka sesuatu itu dihukumi tidak ada. Hingga tedapat dalil yang menyatakan keberadaanya. Dan hukum sudah berjalan berdasarkan hal-hal tersebut.
Dengan demikian. Istishab ini telah menetapkan dasar syariah sebagai berikut:
a.       Asal sesuatu itu merupakan ketetapan terhadap sesuatu yang sudah ada berdarkan keadaan semula. Sehingga terdapat ketetapan yang merubahnya.
b.      Asal sesuatu itu adalah boleh (mubah).
c.       Apa-apa yang sudah tetap berdasarkan keyakinan, tidak akan hilang karena adanya keragu-raguan.
d.      Asal yang ada pada manusia adalah kebebasan.
Pada dasarnya, menjadikan isishab sebagai dalil hukum merupakan kebolehan. Sebab, dalil itu padasarnya merupakan dalil yang menetapkan hukum ssersebut, dan istishab itu tidak lain hanya menetapkan dalalah dalil kepada hukumnya.
Ulama’ Hanafiyah menetapkan bahwa istishab itu merupakan hujjah untuk melestarikan, dan bukan menetapkan sesuatu yang ditetapkan manusia. Dengan demikian, istishab dapat diyakini sebagai hujjah terhadap suatu ketetapan yang ada berdasarkan keadaan semula, disamping melestarikan sesuatu yang berbeda dengan ketetapan tersebut, hingga terdapat dalil yang menetapkan kebaikanya atai oerbedaanya. Jadi, bukan merupakn hujjahdidalam menetapkan sesuatu yangtidak tetap.[12]
Daftar pustaka
-Prof Abu Zahrah Muhamad “Usul fiqih” penerbit Pustaka Firdaus. Jl. Siaga I No. 3, pejaten barat pasr minggu.
- prof  Wahab khollaf Abdul. “ diterjamahkan ilmu usul fiqih edisi bahasa arab” penerbit: DDII Jakarta;Indonesia. Cit IX 1392. H- 1972 M
Cafer Makalah
الادلة المختلف فيها
Pendapat-Pendapat yang Tidak di sepakati (di perselisihkan)
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Sysarat Ujian Ahir Semester (UAS)
Mata kuliah: Usul fiqih


Oleh:
Amirul Muttaqin
1110033100056

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M

[1] Amirul muttaqin, tgl. Malam sabtu 12 june. 2011
[2] prof  Wahab khollaf Abdul. “ diterjamahkan ilmu usul fiqih edisi bahasa arab” hal: 124-130
[3] Prof Abu Zahrah Muhamad “Usul fiqih” hal: 438-445
[4] prof  Wahab khollaf Abdul. “ diterjamahkan dari ilmu usul fiqih edisi bahasa arab” hal:141-143
[5] [411] Yakni: membunuh orang bukan karena qishaash.
[6]  [412] Hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.
[7]  [413] Ialah: sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata.
[8] prof  Wahab khollaf Abdul. “ diterjamahkan dari ilmu usul fiqih edisi bahasa arab” hal: 139- 141
[9] prof  Wahab khollaf Abdul. “ diterjamahkan dari ilmu usul fiqih edisi bahasa arab” hal: 131-135
[10] Prof Abu Zahrah Muhamad “Usul fiqih” hal: 402-402
[11] Prof Abu Zahrah Muhamad “Usul fiqih” hal: 450-455
[12] prof  Wahab khollaf Abdul. “ diterjamahkandari ilmu usul fiqih edisi bahasa arab” hal: 135-137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar