Pendahuluan
Ilmu Usul fiqih merupakan
ilmu yang sanget dibutuhkan seseorang mujtahid didalamnya menjelaskan
nas-nas dan mengelompokkan hukum yang tidak terdapat di dalam nas-nas seperti apa yang akan saya coba
menjelaskan yaitu: Maslahah al-mursalah, Saddud adariah,
Qoulussohabah, Syarohah minqoblina, ‘Uraf, Al-ihtihsan, Al-ishtihsab,. Semua
itu Dalil-dalil yang telah diperslisihkan. Dan pendapat-pendapat yang tidak
disepakati para ulama’ sebagian
Al-Qur’an Maupun Asunah. Juga merupakan ilmu yang diperlukan oleh Qadhi
didalam memahami isi Undang-undang secara lengkap, disamping pelaksanaan
perundang-undangan secara adil sesuai maksud Syari’ yang terdapat
didalamnya,
Oleh karena itu saya akan mencoba menjeskan masalah-masalah yang
terdapat pada “dalil-dalil yang tidak disepakati atau diperselisihkan
Ulama’. Dan pengertian-pengertian atau difinisi-definisi dari semua ini
baik Maslahah al-mursalah, maopun Saddud adariah,
dan Qoulussohabah, Syarohah minqoblina, ‘Uraf, Al-ihtihsan, Al-ishtihsab, Maka
dari itu saya mohon maaf dengan segala kekeliruan dari Makalah ini kerena kami
manusia lemmah (Dha’if) yang taklepas dari keliru dan kesalahan[1]
المصا
لح المرسلة:
Menurut bahasa yaitu sesuatu yang mutlaq (tidak tertentu),
sedangkan menurut istilah ulama’ ushul yaitu kemaslahatan yang tidak
disyariatkan oleh syariat dalam wujud hukum dalam rangka menciptakan
kemaslahatan, di sampin itu, juga tidak
terdapat dalil yang membenarkan atau menyalahkan. Oleh karena itu, ia disebut muthlaq
karena tidak adanya dalil yang pasti.
Contoh : Kemaslahatan yang di ambil oleh para sahabat ini di dalam
mensyariatkan adanya penjara, dicetaknya mata uang, penetapan hak milik
pertanian, penentuan hak kepemilikan, serta masalah-masalah yang di dasarkan
kebutuhan, kebaikan, serta keadaan yang belum ada syariat hukumnya. Dan di
samping tidak adanya hokum yang membenarkan dan menyalahkan.
Berdasarkan pengertian tersebut baik secara istilah maupun bahasa.
pembentukan hukum ini yang di lihat yaitu dari segi mashlahah dan mudhorot
berdasarkan kehidupan manusia. Pembentukan hukum ini di sesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang terjadi pada masyarakat, baik dari segi lingkungan,
maupun kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Adakalanya dalam suatu kondisi ia
menguntungkan, namun dalam kondisi yang lain, malah merugikan.
Megenai masalah-masalah yang di tunut oleh keadaan dan lingkungan
baru setelah berhentinya wahyu, padahal syari’ belum mensyariatkan masalah-masalah
yang dikehendaki berdasarkan tuntutan tersebut. Disamping tidak terdapat
dalil-dalil syara’ yang mengakui atau menyalahkan masalah-masalah tersebut bias
disebut sebagai al-munasibul al-mursal atau al-maslahah al-mursalah.Misalnya:
masalah-masalah tentang adanya kehendak pernikahan tanpa adanya pengakuan
secara resmi yang dengan demikian pengingkaran terhadap perkawinan itu tidak
dapat di terima.
Contoh yang lain, yaitu adanya transaksi yang tidak tercatat, tidak
bisa di pakai sebagai dasar pemindahan yang di jadikan sebagai dasar masalah.
Misal tersebut tidak di syariatkan oleh syari’ mengenai hukumnya , dan tidak
dapat dalil-dalil syari’ yang tidak memberikan I’tibar, atau pembatalan atas
permasalahan-masalan tersebut, dan itulah yang di sebut al-maslahatul
al-mursalah.
Dalil-dalil ulama yang memakai al-maslahatul al-mursalah sebagai
hujjah.
Jumhuru al-Ulama’ mengajukan pendapat bahwa masalah mursalah
merupakan hujjah syari’at yang dipakai sebagai pembentukan hukum mengenai
kejadian atau masalah yang hukumnya tidak ada dalam nash atau ijma’,
atau qiyash, istihsan, maka disyari’atkn menggunkan mslahat
al-mursalah. Dan pembentukan hukum berdasarkan maslahah al-mursaah
ini tidak berlangsung terus lantaran diakui oleh syara’.
Dalil yang dipakai oleh para ulama yaitu antara lain:
a.
Kemaslahatan
umat manusia itu sifatnya selalu actual yang tidak ada habisnya. Karenanya,
jika tidak ada syariat hukum yang berdaarkan masalah mursalah berkenaan dengan
masalah baru dan tuntutan perkembangan, maka pembeukan hukum hanya akan
terkunci berdasarkan masalah yang mendapatkan pengakuan syari’. Dengan
demikian, kemaslahatan yang dibutuhkan umat manusia disetiap tempat dan masa
menjadi terabaikan. Berarti, pembentukan hukum tidak mengikuti atau memandang
perkembangan kemashalatan umat manusia. Hal tersebut tidak cocok dan tidak
sesuai dengan maksud syariat yang selalu ingin mewujudkan kemaslahan bagi
seluruh umat manusia.
b.
Orang-orang
yang menyelidiki pembentukan hukum yang dilakukan oleh para sahabata,
tabi’en dan para mujahid, maka akan tampak bahwa merak ini telah
mensyariatkan hukum dalam rangka mencari kemaslahatan dan bukan lantaran adanya
pengakuan sebagai saksi, misalnya abu bakar yang melakukan pengumpulan lembaran
yang berserakan memerangi para pembangkang penuaian zakat, dan mengusulkan
pengangkatan umar bin khattab sebagai khalifah pengganti abu bakar.
Kemaslahatan
yang menjadi tujuan dari pensyariatan hukum ini, disebut sebagiai masalah mursalah,
para ulama’ bedasarkan pada masalah didalam mensyariatkan hukum lantran
mengandung nilai maslahah, disamping tidak adanya dalil syara’ yang
menyalahkannya, namun demikan, didalam pembentukan hukum tersebut mereka tidak
semata-mata memandang dari segi masalah tetapi lantaran aday syara’ yang
mengakuinya,
Imam al-ghazali
mengatakan para sahabat telah melakukan berbagai hal lantaran meninjau dari
segi masalah mursalah, bukan lantaran adanya pengakuan sebagai saksi”.
Dan juga ibnu akil mengatakan, “siasah yaitu setiap tindakan yang mengantarkan
manusia untuk lebih dekat dengan kebaikan, dan menjauh dari mafsadah, walaupun
rasul tidak menetapkan, atau wahyu tidak ada yang turun yang berkenaan dengan
hal tersebut. Siapa saja yang mengatakan bahwa siasah adalah syara’ saja yang
mengajarkan, maka hal itu merupakan kesalahan, sekaligus membatalan syari’at
para sahabat.
Syarat-syarat untuk bisa di pakai sebagai hujjah
Dalam menggunakan masalah mursalah sebagai hujjah, para
ulama’ bersikap sangat hati-hati (ikhtiyat) sehingga tidak menimbulkan
pembentukan syari’at berdasarkan nafsu dan keinginginan tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, maka para ulama menyusun syarat-syarat sebagai dasar
pembentuka hukum. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut:
a.
Harus
benar-benar merupakan maslahah, maksudnya ialah agar bisa diuwjudkan
pembentukan hukum suatu masalah atau peritiwa yang mlahirkan kemanfaatan dan
menolak kemudharatan.
b.
Masalah
itu bersifat umun, bukan bersifat program. Maksudnya, bahwa dalam kaitannya
dengan pembentukan hukum terhadap suatu kejuadian atau masalah dapat melahirkan
kemanfaatan bagi kebanyakan umat manusia yang benar-benar dapat teruwujud.
c.
Pembentukan
hukum denngan mengambil kemashlahatan ini tidak berlawanan dengan tata hukum
atau dasar ketetapan nash dan ijma’. Karena itu, tuntutan kemashlahatan
untuk mempersamakan antara anak laki-laki dan wanita dalam hal pembagian harta
warisan merupaka masalah yang tidak bisa di benarkan. Sebab masalah yang
demikian itu adalah batal.
Keraguan Orang yang tidak menggunakan al-mashlahah al-mursalah
sebagai hujjah
Sebagian ulama berpendapat bahwa masalah mursalah itu pengakuannya
dan pembatalannya tidak bedasarkan saksi syara’, karena masalah mursalah
tidak bisa di pakai sebagai dasar pembentukan hukum. Alasan mereka itu sebagai bberikut:
a.
Syari’atlah
yang akan memelihara kemashlahatan umat manusia dengan nash-nash dan
petunjuk-petunjuk qiyash, sebab syariat tidak akan berlaku
menyia-nyiakan manusia. Dengan kata lain, membiarkan adanya masalah dengan
tidak menunjukkan pembentukan hukumnya. Jadi, sifat dugaan yang di pakai seagai
dasar pembentukan hukum tidak bisa di gunakan sebagai mashlahah mursalah.
b.
Pembentukan
hukum berdasarkan harusnya ada mashlahah merupakan terbukanya pintu
nafsu antara para pemimpin, penguasa , dan ulama’, fatwa(mufti). Dengan
demikian, sebagian diantara mereka terkadang kalah dengan hawa nafsu dan
keinginannya. Sebagai akibatnya, mereka bisa menghalalkan mafsadah untuk
kemashlahatan. Disamping itu, mashlalah merupakan pesoalan yang
sifatnya perkiraan yang berbeda berdasaarkan pendapat dan kondisi lingkungan.
Jadi, dibolehkannya membentuk hukum dengan dasar kemashlahatan secara muthlaq
itu membuka pintu kesejahteraan.
Ibnu Qayyim mengatakan,” sebagian ummat
islam terlalu berlebih-lebihan di dalam memelihara mashlalah murslah,
sehingg mereka menganggap syari’at
sebagai aturan yang sempit dan tidak bisa berlaku pada kemashlahatan hamba.
Maka dari itu, mereka telah mghalangi dirinya sendiri untuk menempuh jalan
keadilan dan kebenaran. Sebagian mereka malahan berlebih-lebihan memperkenankan
sesuatu dengan tidak menghiraukan syariat Allah yang idak mengakibatkan
tumbuhnya kejahatan dan kerusakan.[2]
سدالذريعة:
Pengertian Saddu al-Dzari’ah (sumber pokok) adalah Menurut
etimilogi, dzari’ah berarti wasilah (perantara). Sedangkan
menurut istilah atau terminologi, yaitu sesuatu yang menjadi perantara ke arah
perbuatan yang di haramkan atau di halalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum
yang di kenakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat
pada perbuatan yang menjadi sasarannya. Maksudnya, perbuatan yang membawa ke
arah yang mubah adalah mubah, perbuatan yan membawa ke arah yang haram adalah
haram, dan begitu seterusnya.
Misalnya saja Zina adalah Haram, maka melihat aurat
wanita yang menyebabkan seseorang melakukan perbuatan zina adalah haram juga.
Dan juga Shalat jum’at adalah wajib (fardlu), maka meninggalka jual beli
guna memenuhu kewajiban melaksanakan ibadah shalat jum’at adalah wajib, karena
hal itu merupaka dzari’ah, dan seterusnya.
Untuk lebih jelasnya,
dapat di kemukakan disini bahwa sumber ketetapan hukum terbagi menjadi dua
bagian.
1.
Maqashid (tujuan atau sasaran) yakni perkataan yang mengandung mashlahah
atau mafsadah.
2.
Masaail (perantara), yaitu jalan atau perantaraan yang membawa kepada maqashid,
yang mana hukumnya mengikuti hukum dari perbuatan yang menjadi sasarannya(maashid),
baik berupa halal atau haram.
Hanya saja dari segi derajat atau tingkatan hukumnya, ketetapan
hukum terhadap wasail lebih ringan di banding ketetapan hukum yang
terdapat pada maqashid. Imam al-Qarafi berkata bahwa wasilah
kepada maqashid yang paling buruk adalah seburuk-buruk wasilah,
dan yang paling baik sebaik-baik wasilah. Dan wasilah kepada maqashid
yang bertentangan adalah pertengahan pula. Dengan demikian, yang menjadi dasar
diterimanya dzara’i(jamak dari dzari’ah) sebagai sumber pokok
hukum islam ialah tinjawan terhadap akibat suatu perbuatan. Perbuatan yang
menjadi perantara mendapatkan ketetapan hukum sama dengan perbuatan yang
menjadi sasarannya, baik akibat perbuatan itu dikehendaki atau tidak di
kehendaki terjadinya. Apabila perbuatan itu mengarah pada sesuatau yang di
perintahkan (mathlub), maka ia menjadi mathlub (di perintahkan).
Sebaliknya, jikalau perbuatan itu mengarah kepada perbuatan buruk, maka ia menjadi
terlarang.
Perbuatan dilihat dari segi akibatnya terbagi menjadi Empat
macam sebagai berikut:
1.
Perbuatan
yang secara Qath’I (pasti) mendatangkan mafsadah atau kerusakan.
Seperti menggali sumur di belakang pintu rumah di jalan yang gelap, di mana
sekiranya ada orang yang masuk ke rumah itu dipastikan jatuh ke sumur tersebut.
2.
Perbuatan
yang memungkinkan kecil (jarang) kan mendatangkan mafsadah, seperti menjual makanan yang
pada umumnya tidak membahayakan atau menanam anggur, meskipun pada akhirnya
buah anggur tersebut mungkin dip roses oleh orang lain untuk di jadikan arak,
sebab kemanfaatan yang di peroleh oleh perbuatan iu lebih besar dari pada kemudhorotan
yang menjadi akibat sampingannya dengan kata lain bahayanya terhitung kecil di
banding kemanfaatannya, dan perbuatan semacam ini adalah halal.
3.
Perbuatan
yang kadar kemungkinan terjadinya kemafsadatan tergolong dalam kata gori
persangkaan yang kuat(ghalabath al-dzon), tidak sampai pada kata gori
keyakinan yang pasti(ilmul al-yaqin), tidak pulaterhiung
inadzir(jarang). Dalam hal ini, persangkaan kuat disamakan dengan keyakinan
yang pasti, sebab saddu al-dzari’ah (menutup perantara) mengharuskan
untuk berhati-hati semaksimal mungkin untuk menghindarkan dari kemafsadatan.
dan tidak di raguka lagi, bahwa ikhtiyat (hati-hati) mengharuskan
menggunakan persangkaan kuat( ghalabati al-dzon), sebab, persangkaan
mengenai hukum-ukum yang bersifat praksis (‘ammaly) mempunyai kedudukan
sama dengan yakin.
4.
Perbuatan
yang juga dikerjakan kemungkinan besar akan mendatangkan mafsadat, akan
tetapi tidak sampai pada tingkat persangkaan kuat apalagi ke tingkat keyakina
yang pasti. Hal ini biasanya terjadi dalam bentuk jual- beli yang bisa di
jadikan dzari’ah (perantaraaan atau sasaran) untuk melakukan perbuatan Riba.
Bagian yang ke empat ini termasuk masalah yang di perselisihkan
para ulama: apakah dianggap sebagai dzri’ah yang berakibat kerusakan
sehingga tasharruf itu batal, dan
perbuatan itu haram karena mengutamakan segi kemafsadatannya atau tidak di
anggap sebagai dzari’ah, sehingga akad tersebut tidak batal, dan
perbuatan itu tidak haram karena berpegang kepada hukum asal.
Imam Abu hanifah dan Imam Syafii menggunakan segi idzi tidak
mengaharamkan perbuatan itu, dan tidak membatalkan tasharrufnya,
alasannya karena kerusakannya bukan yang dominan sehingga tidak di utamakan.
Selain itu, asas dalam menetapkan hukum haram atau batal ialah jika perbuatan
itu merupakan dzari’ah terhadap
perbuatan yang bathil, fasid, serta haram. Sedangkan Imam Malik dam
Ahmad Bin-hambal menetapkan bahwa perbuatan itu adalah haram, dan akadnya batal
dalam rangka ikhtiyath oleh karena banyaknya kemudlorotan di samping
hukum asal berupa idzin, maka disini terdapat dua huku asal yang saling
berhadapan. Disatu pihak, berupa idzi yangh asli, dan di lain pihak, hukm asal kemudharatan
yang merupakan asal perbuatan atau akad yang menimpa dan menyakitkan orang
lain, karena kemungkinan terjadinya kemafsadatan relative besar, maka disini
yang di unggulkan adalah dari segi kemudharatanya, sebab kemudharatan itu
didahulukan atas menarik kemashlahatan.
Dzarai’ merupakan
sumber pokok hukum islam yang di pakai para ulma secara consensus. Perbedaan
pendapat hanyalah terletak pada penentuan kriterianya. Mereka pada prinsipnya
sebenarnya tetap sepakat bahwa dzari’ah adalah merupakan sumber pokok
yang di akui dan berdiri sendiri.[3]
فتح الذريعة
Maaf dalam pembahasan ini kami tidak menjelaskan, karena data dari makalah kami Hilang sehingga kami tidak bisa melampirkan pembahasan Fathudzariah ini.
قول الصحابة:
Sepeninggal Rasulullah SAW.,
maka rasul memberi fatwa dan membentuk hukum-hukum islam untuk kepentingan
ummat islam dan para sahabat yang benar-benar sudah lekat dengan fiqih dan ilmu
agama. Serta lantaran akrabnya mereka dengan Rasulullah SAW di dalam pergaulan
sehingga mampu memahami Al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Para sahabat telah
mengaluarka fatwa mengenai barbagai kaidah dan permasalahan yang syanget
banyak, begitu juga para tabi’in dan tabi’u’t-tabi’in secara teliti
memperhatikan peristiwa dan pentadwinan sehingga diantara mereka tardapat yang
berupaya untuk membukukanya, bersama dengan pembukuan sunah-sunah Rasul karena
apakah fatwa-fatwa para sahabat ini termasuk sumber pembentukan hukum islam
yang sama dengan nas. Jika mujtahid haruskembali pada fatwa tersebut
sebelum kembali pada kiyas? Atau apakah pendapat tersebut merupaka
individu sehingga tidak dapat sebangai hujjah?
Jadi mengenai pembahasan ini tidak terdapat pendapat mengenai
ucapan-ucapan para sahabat dengan permasalahaan yang tidak bisa dijangka oleh
akal untuk dipakai sebagai hujjah bagi ummat islam. Hal ini lantaran perkataan tersebut di ucapkan
berdasar pendengaran mereka dari Rasulullah
Contohnya perkataan Aisyah: “di dalam perut ibu, kandungan itu
tidak berdiam melebihi dua tahun, berdasarkan ukuran yang bisa merubah bayang-banyang
alat tahun”
Misal tersebut tidak bisa dipakai sebangai tempat ijtihad dan
mengemukakan pendapat, sebab apabila pendapat itu benar pasti sumbernya dari
Rasulullah SAW. Maksudnya adalah perkataan itu merupakan Asunnah walaupun yang
mengucapkan adalah sahabat.
Perbedaan itu hanya ada pada perkataan sahabat yang didasarkan pada
ra’yu, yang sekaligus tidak tedapat kesepakatan diantara para sahabat
itu sendiri.[4]
شرع من قبلنا :
Jika Al-Qur’an dan Asunah yang benar itu mengesahkan atau
menceritakan syaria’ atau hukum syara’ bagi ummat sebelum kita melalui
utusanya, dan didalam nas juga ditetapkan sebagai syariat untuk kita seperti
diwajibkanya kepada Orang-orang sebelum kita, maka hal tersebut tidak terdapat
perbedaan bahwa syariat tersebut merupakan syariat dan Udang-undang yang wajib
kita taati dengan menetapkan sebagai syariat.
Misalnya firman allah SAW. Surah Al-baqorah ayat 183
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
Dan jika Al-Qur’an dan Asunnah telah mengesahkan hukum-hukum
tersebut, dan terdapat nas yang menghapus berlakunya untuk kita, juga tidak ada
perbedaan, hal tersebut bukanlah merupakan syariat untuk kita berdasarkan dalil
yang menghapuskanya. Misalnya syariat yang diwajibkan kepada nabi musa dan umat-nya,
bahwa manusia durjana tidak akan mendapat penebusan dosa, kecuali jika ia
membunuh dirinya sendiri. Pakayan yang terkena najis, tidakbisa disucikan
kecuali harus membuang atau memutong bagian yang terkena najis. Dan masih banya
lagi hukum-hukum yang merupaka syariat bagi orang-orang sebelum kita. Tetap
telah dihapus berlakuya untuk kita.
Yang menjadi awal berbedaan pendapat, ialah hukum-hukum syari’at
orang-orang yang terdahulu yang Allah SWT dan Rasul SAW kisahkan kepada kita,
tetapi di dalam syariat yang berlaku untuk kita tidak disebutka bahwa hal itu
merupakan kewajiban bagi kita sebagai mana diwajbkanya kepada merika atau
dihapuskan.
Maisalnya firman alla SAW. Surah Al-maidah ayat 32
ô`ÏB È@ô_r& y7Ï9ºs $oYö;tF2 4n?tã ûÓÍ_t/ @ÏäÂuó Î) ¼çm¯Rr& `tB @tFs% $G¡øÿtR ÎötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù @tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uômr& !$uK¯Rr'x6sù $uômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4
ôs)s9ur óOßgø?uä!$y_ $uZè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ¢OèO ¨bÎ) #ZÏWx. Oßg÷YÏiB y÷èt/ Ï9ºs Îû ÇÚöF{$# cqèùÎô£ßJs9 ÇÌËÈ
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain[411[5]],
atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh
manusia seluruhnya[412[6]].
dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia
telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang
kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang
jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu[413[7]]
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Jumhuru Al-Ulama’ Hanafiah dan sebagian ulama’ Malikiah serta
ulama’ Syafiiyah mengatakan bahwa hukum tersebut juga sebagai syariat untuk
kita dan kita berkewajiban mengekuti dan melaksanakan, lantaran hukum tersebut
telah dikisahkan kepada kita dan tidak ada syariat yang menghapuskanya. Sebab,
hukum tersebut merupakan bagian dari hukum-hukum Allah SAW yang disyariatkanya
melaluai Utusanya. Di sampinga itu Allah SAW juga telah mengesahkan kepada
kita. Selain itu tidak terdapat dalil yang menghapuskannya, sehingga bagi
setiap mukallaf wajib mengekutinya. Karnanya, ulama’ hanafiah berdalil bahwa
pembunuhan itu bersifat umum, tampa memandang yang dibunuh itu muslim adau
kafir dzimmi, laki-laki atau wanita. Pembunuh tetap dihukumi sebagai pembunuh
berdasarkan ayat:
النفس
بالنفس
“jiwa dibalas
dengan jiwa”
Sebagian ulama’
mengatakan bahwa syarita yang berlaku untuk kita ini tenghapus syariat orang-orang sebelum
kita, melainkan jika syariat kita terdapat ketetapanya. Akan tetapi, yang benar
adalah pendapat yang pertama, lantaran syariat kita hanyalah menghapuskan syariat
terdahulu terhadap syariat yang bertentangan dengan syariat kita, disamping nas
Al-Qur’an yang merupakan hukum syara’ terdahulu dan tidak ada nas yang
menghapus dapat dipaham merupakan pembentukan hukum yang berlaku untuk kita.
Sebab, hukum tersebut merupak ketentuan tuhan yang disampaikan oleh rasul
kepada kita, dan tidak terdapat dalil yang menghapus berlakunya bagi kita.
Disamping itu. Karna al-quaan juga membenarkan kitab-kitab yang turun sebelum Al-Qur’an,
seperti Taurat, Injil, dan Zabur. Dengan demikian, nas yang tidak
memnghapus hukum yang terdapat pada tiga kitab tersebut merupakan ketetapan
hukum.[8]
العرف
Pengertian ‘Urf
‘Urf adalah segala sesuatu yang telah di kenal di
kalangan manusia yang sudah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat
perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu,
sekaligus disebut sebagai Adat (kebiasaan). Sedangkan menurut ahli
syara’, ‘Urf bermakna Adat,
atau antara ‘ufr dan Adat itu tidak ada perbedaannya. Karenanya, ‘urf
mengenai perbuatan manusia, misalnya jual beli yang dilakukan berdasarkan
saling pengertian dengan tidak mengucapkan sighat. Untuk ‘urf yang bersifat
ucapan atau pekataan misalnya, saling pengertian terhadap pengertian al-walad
yang lafadz tersebut mutlaq berarti laki-laki, dan bukan wanita. Dengan
demikian, ‘urf itu merupakan saling pengertian manusia terhadap tingkatan
mereka yang berbeda-beda, tentang keumuman maupun kekhususannya. Dalam hal ini
memang sangat berbeda dengan ijma’, sebab ijma’ itu merupakan kebiasaan
kesepakatan para mujtahid secara khusus atau umum yang tidak menciptakan adanya
‘urf.
Macam-macam ‘Urf.
‘Urf ini diklasifikasikan menjadi dua macam sebagai berkut:
Pertama‘Urf
Shahih yaitu segala sesuatu yang sudah dikenal umat manusia yang tidak
berlawanan dengan dalil syara’, di samping idak menghalalkan yang haram dan
menggugurkan kewajiban. Misalnya saling pengertian manusia atau kebiasaan
manusia mengenai transaksi borongan, saling pngertian tentang jumlah mas kawin (mahar),
apakah mahar itu dibayar kontan atau hutang, serta pengertian tentang istri
yang tidak di perkenankan “menyerahkan” dirinya kepada suami, melainkan jika
sebagian mahar telah di bayar.
kedua‘Urf Fasid yaitu segala sesuatu yang
sudah dikenal oleh manusia, tetapi berlawanan dengan syara’, atau menghalalkan
yang haram, atau menggugurkan kewajiban. Misalnya manusia saling pengertian
melakukan peruatan negative dalam hal upacara kelahiran anak dan dalam hal
kedudukan, serta hubungan riba dan perjanjian perjudian.
Hukum Hukum ‘Urf
‘Urf Shahih haruslah di
lestariakan dalam kaitannya dengan upaya pembentukan hukum dan proses
peradilan. Para mujtahid karena sudah tentu harus melestarikan atau memelihara
ketika berupaya membentuk hukum. Bagi seorang qhadi, harus memeihara
ketika proses peradilan berlangsung. Sebab, segala sesuatu yang sudah saling di
mengerti oleh manusia yang tidak menjadi tradisi, tetapi hal tersebut telah
menjadi kesepakatan dan dianggap sebagai kemashlahatan serta tidak kontradiksi
dengan syara’, maka harus di pelihara. Dalam hal ini, syari’ juga telah
memelihara ‘urf bangsa arab yang
di dalam pembentukan hukum. Seperti wajibnya membayar diyat terhadap wanita berakal, syarat kafaah
bagi berlangsungnya pernikahan, juga hitungan ashabah dalam masalah
kematian dan pembagian waritsan.
Dalam hal ini, ulama berpendapat bahwa adat adalah syari’ah
muhkamah, dan berdasarkan syara’, urf itu memiliki I’tibar . Imam Malik,
mengambil dasar pembentukan hukumnya kepada amal yang di lakukan penduduk
Madinah. Abu Hanifah berbeda pendapat dalam ketetapan hukumnya lantaran
perbedaan ‘urf. Ketika Imam Syafi’I berada di Mesir, merubah sebagian hukum
yang telah ditetapkan di Baghdad. Hal itu lantaran perbedaan ‘urf, sehingga ia
mempunyai dua qoul, yaitu qoul
qodim, dan qoul jadid.
Mengenai ‘urf fasid tidak harus di pelihara atau di
lestarikan. Sebab, pemeliharaan terhadap ‘urf fasid berarti menentang
hukum syara’, atau membatalkan ketentuan syara’. Karenanya, jika manusia
mngerti tentang akad yang rusak, seperti akad melakukan riba, penipuan,
dan akad-akad yang berbahaya, maka akad-akad tersebut tidak bisa di pakai
sbagai ‘urf. hukum-hukum yang berdasarkan ‘urf, bisa berubah berdasarkan
perubahan ‘urf itu sendiri pada suatu masa atau perubahan lingkungan. Maka para
fuqaha’, mengatakan dengan contoh tenten perselisihan, bahwa
perselisihan adalah perbedaan masa dan tempat, bukan merupakan perbedaan hujjah
atau burhan.
Berdasarkan pembenaran dalil syara’, ‘urf itu pada umumnya termasuk
pemeliharaan maslahah mursalah yang dipelihara di dalam pembentukan hukum. Juga
di pelihara dalam hal menafsiri nash-nash, atau takhsish terhadap
lafadz ‘am, dan pembatasan terhadap lafadz muthlaq. Dan juga
kadang-kadang, qiyas bisa di tinggalkan lantaran diberlakukannya ‘urf.
karenanya, mengadakan kontrak borongan itu di anggap sah lantaran berlakunya
‘urf. walaupun berdasarkan qiyash, hal itu tidak bisa di benarkan
lantaran kontrak tersebut merupakan kontrak ma’dum.[9]
الاحتحسان
Istihsan adalah sumber
hukum yang banyak di pakai dalam terminologi dan istinbaht hukum oleh
dua madzhab, yaitu imam Malik dan imam Abu hanifah. Bahkan imam
malik menilai pamakayan istihsan merambah 90% dari seluruh ilmu (Fiqih)
Imam Abu al-Hasan al-Karkhi mengemukakan definisi, bahwa istihsan.
Ialah: “penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang
menyempang dari ketetapan hukum yang di terapkan pada masalah-masalah yang
serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang memnghendaki dilakukannya
penyempangan itu, di antara defines-difinisi istihsan yang ada, difenisi ini adalah
yang paling kena dalam menjelaskan hakekat istihsan dalam pandangan
madzhab hanafiy. Sebab definisi tersebut bisa mencakup seluruh macam ihtihsan
serta dapat menyentuh pada asas dan inti pengertiannya.
Definisi itu
memberiakan gambaran bahwa ihtihsan, apapun bentuk maopun semacamnya, terbatas
pada madzhab juzs’iyyah dengan
kata lain seorang ahlih fiqih dalam memecahkan masalah juz’iyyah itu
terpaksa menggunakan dalil istihsan agar tidak terjadi pemakaian kaidah
yang tidak lain adalah qiyas secara berlebihan (melampui batas) hingga terjatuh
dari ruh dan ma’na syara’.
Mengenai definisi istihsan
menurut madzhab Maliki, para ulama masih berbeda penndapat. Ibnu
Araby mengatakan” istihsan aialah memilih meninggalkan dalil, dan
mengambil rukhshohi dengan hukum
sebaliknya, karena dalil itu berlawanan deangan dalil lain pada sebagian kasus
tertentu. Menurut maliki, istihsan di bagi menjadi empat macam yaitu sebagai berikut:
1)
Meninggalkan
dalil karena ‘Urf
2)
Meninggalkan
dalil karena ijma’
3)
Meninggalkan
dalil karena mashlahah
4)
Meninggalkan
dalil karena untuk meninggalkan dan untuk menghindarkan masyaqqah.[10]
الاستصحاب :
Pengertian istishab Menurut etimologi, istishab berarti
persahabatan dan kelenggangan persahabatan. Sedangkan menurut istilah, yaitu
terdapat dua definisi yang keduanya memenuhu criteria sebagai definisi yang
jami’(comprehensive, mencukup seluruh afrodnya). Imam as-Syaukany di dalam
kitabnya irsyadul al-fuluh menemukakan definisi bahwa istishab
adalah dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada sesuatu
yang mengubahnya. Dalam pengertian ketetapan di masa lampau berdasarkan hukum
asal, tetap terus berlaku untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
Ibnu Qayyim berpendapat bahwa istishab adalah melestarikan yang sudah positif, dan
menegaskan yang negative (tidak berlaku), dengan kata lain bahwa hukum asal
akan tetap berlaku dengan sendirinya, baik yang positif maupun yang negative,
sepanjang belum ada dalil yang merubah ketentuan hukumnya. Sebagai contoh:
masalah penetapan hak milik atas barang yang dibuktikan, misalnya melalui
pembelian, pewarisan, hibah, ataupu wasiat. Hak milik terus berlangsung untuk
selamanya sampai ada dalil yang menunjukkan adanya pemindahan hak milik, atau
yang semisalnya.
Berbeda dari sumber-sumber hukum yang lain, istishab didasarkan pada prasangkaan yang kuat bahwa
kelangsungan atau continuitas stastus mengharuskan contonoitas hukum. Oleh
karena itu, hukum ini tidak bisa di pandang sebagai dalil yang kuat untuk istinbath
hukum. apabila bertentangan dengan
dalil, maka istinbath haruslah di
nomer dua-kan. Dalam kaitannya dengan hal ini, Imam al-Khawarizmi berkata bahwa
istoshab meruakan alternative terakhir untuk fatwa (setelah tidak di
temukan pada sumber-sumber lain). Seorang mufti jika di Tanya tentang suatu masalah
(kejadian), maka ia secara berurutan mencari ketetapan hukumnya dari al-Kitab
(al-Qura’an), sunnah, ijma’, atau qiyash. Jika dari keempat hukum tersebut
tidak ditemuka sumber hukumnya, maka ia baru menetapkan dalil istishab,
baik bersifat negative maupun positive.
Berdasarkan keterangan di atas, apabila hukum asal suatu perkara
adalah mubah seperti makanan, maka hukum asalnya adalah mubah sampai adanya
dalil yang menerangkan keharamannya. Apabila hukum asal suatu perkara adalah
haram, maka hukum asalnya juga haram sampai terdapat dalil yang
memperbolehkannya, misalnya seperti ikatan pekawinan.
Pembagian Istishab
Istishab dibagi menjadi empat bagian sebagai berikut:
1)
.Istishab
al-Bara’ah al-Ashliyyah (kebebasan
dasar) yang oleh Ibnu Qayyim diberi istilah Bara’ah al-‘Adam al-Ashliyyah
seperti bebas dari beban-beban kewajiban(taklif) syar’I sampai ada dalil yan
menunjukkan adanya taklif. Anak kecil bebas dari takilf sampai ia sampai usia
baligh, dan lain sebagainya.
2)
.Istishab
yang diakui eksistensinya oleh syara’ dan akal, seperti istishab
mengenai pertanggungan hutang sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa
hutang itu telah dibayar atau dibebaskan. Contoh lain, kewajiban pembeli untuk
membayar harga bayar sebagai konsekwensi adanya transaksi jual-beli sampai
adanya indikasi bahwa ia telah membayarnya, dan seterusnya.
3)
.Istishab
hukum, yaitu apabila dalam kasus itu sudah ada ktentuan hukumnhya,
baik mubah atau haram. Ketentuan hukum it uterus berlaku hingga ada dalil yang
mengaharamka dalam hal perkara mubah, dan hingga ada dalil yang membolehkan
dalam hal perkara haram. Sebab hukum asal segala sesuatu adalah mubah selain
urusan harta dan kehormatan, hukum mubah ini ditetapka berdasarkan firman Allah
dalam surat al-Baqaroh ayat 29.
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4
uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya
tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
4). Istishab sifat, seperti sifat hiup bagi orang hilang. Sifat ini dianggap
memelekat pada orang hilang sampai ada indicator atas kematiannya. Kafalah
(jaminan atau tanggungan) adalah sifat syar’I yang melekat pada orang yang
menaggung sehingga ia membayar hutangnya atau orang yang mengatas namakan
dirinya atau pihak yang menghutangi membebaskan dari kewajiban mengagung, dan
demikian seterusnya.[11]
Kehujjahah istishab
Istishab merupakan dalil syara’ terahir yang di pakai mujtahid
sebagai dalil untuk mengetahui hukum suatu kejadian yang dihadapkan kepadanya.
Ulama’ usul berpendapat bahwa istishab pada dasarnya merupakan tempat
berputarnya fatwa yang terahir untuk mengetahui sesuatu berdasarkan hukum yang
telah ditetapkan selama tidak terdapat dalil yang merubah. Hal tersebut
merupaka metode dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan atau adat
manusia pada seluruh memeliharaan dan penetapan mereka. Karnya jika seseorang
mengetahui adanya seorang yang hidup. Maka ia itu dihukumi hidup. Dan dasar
hidupnya itu dipelihara hingga terdapat dalil yang menunjukkan tidak hidupnya.
Orang yang mengetahui tentang wujud sesuatu. Maka dihukumi sesuatu itu berwujud
seingga ada dalil yang menyatakan tidak wujudnya dan siapapun yang mengatahui
tentang tidak adanya sesuatu maka sesuatu itu dihukumi tidak ada. Hingga
tedapat dalil yang menyatakan keberadaanya. Dan hukum sudah berjalan
berdasarkan hal-hal tersebut.
Dengan demikian. Istishab ini telah menetapkan dasar syariah
sebagai berikut:
a.
Asal
sesuatu itu merupakan ketetapan terhadap sesuatu yang sudah ada berdarkan
keadaan semula. Sehingga terdapat ketetapan yang merubahnya.
b.
Asal
sesuatu itu adalah boleh (mubah).
c.
Apa-apa
yang sudah tetap berdasarkan keyakinan, tidak akan hilang karena adanya
keragu-raguan.
d.
Asal
yang ada pada manusia adalah kebebasan.
Pada dasarnya, menjadikan isishab sebagai dalil hukum merupakan
kebolehan. Sebab, dalil itu padasarnya merupakan dalil yang menetapkan hukum
ssersebut, dan istishab itu tidak lain hanya menetapkan dalalah dalil
kepada hukumnya.
Ulama’ Hanafiyah menetapkan bahwa istishab itu merupakan hujjah
untuk melestarikan, dan bukan menetapkan sesuatu yang ditetapkan manusia.
Dengan demikian, istishab dapat diyakini sebagai hujjah terhadap suatu
ketetapan yang ada berdasarkan keadaan semula, disamping melestarikan sesuatu
yang berbeda dengan ketetapan tersebut, hingga terdapat dalil yang menetapkan
kebaikanya atai oerbedaanya. Jadi, bukan merupakn hujjahdidalam menetapkan
sesuatu yangtidak tetap.[12]
Daftar pustaka
-Prof Abu
Zahrah Muhamad “Usul fiqih” penerbit Pustaka Firdaus. Jl. Siaga I No. 3,
pejaten barat pasr minggu.
- prof Wahab khollaf Abdul. “ diterjamahkan ilmu
usul fiqih edisi bahasa arab” penerbit: DDII Jakarta;Indonesia. Cit IX
1392. H- 1972 M
Cafer Makalah
الادلة المختلف فيها
Pendapat-Pendapat
yang Tidak di sepakati (di perselisihkan)
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Sysarat Ujian Ahir Semester (UAS)
Mata kuliah: Usul fiqih
Oleh:
Amirul Muttaqin
1110033100056
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M
[1] Amirul
muttaqin, tgl. Malam sabtu 12 june. 2011
[2] prof Wahab khollaf Abdul. “ diterjamahkan ilmu
usul fiqih edisi bahasa arab” hal: 124-130
[3] Prof
Abu Zahrah Muhamad “Usul fiqih” hal: 438-445
[5]
[411] Yakni: membunuh orang bukan karena qishaash.
[6] [412] Hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil
saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh
seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang
itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga
membunuh keturunannya.
[7] [413] Ialah: sesudah kedatangan Rasul membawa
keterangan yang nyata.
[8] prof Wahab khollaf Abdul. “ diterjamahkan dari
ilmu usul fiqih edisi bahasa arab” hal: 139- 141
[10] Prof
Abu Zahrah Muhamad “Usul fiqih” hal: 402-402
[11] Prof
Abu Zahrah Muhamad “Usul fiqih” hal: 450-455
[12] prof Wahab khollaf Abdul. “ diterjamahkandari
ilmu usul fiqih edisi bahasa arab” hal: 135-137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar