A.
PENDAHULUAN
Kehidupan berlangsung tanpa
disadari dari detik ke detik. Sering kita tidak menyadari bahwa hari-hari yang
dilewati justru semakin mendekatkan kita kepada kematian. Sangat mungkin,
kematian datang selagi kita di kelas ini, sebelum menyelesaikan diskusi dan
menghibur diri atas kemungkinan-kemungkinan tersebut karena takut.[1]
Dalam al-Quran Allah berfirman: dalam
surah al-jumaah ayat ke 29 yang artinya:
Katakanlah:
"Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya
kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah),
yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan".
disebutkan juga dalm surah al-angkabut, ayat 57 yang arinya: Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. kemudian hanyalah kepada Kami kamu
dikembalikan.
Pada dasarnya, manusia memang takut pada hal-hal
baru yang asing baginya. Demikian pun saat manusia dihadapkan pada peristiwa
‘mati’. Untuk hal ini, banyak ahli yang melakukan pendekatan khusus, dari mulai
kajian medis, filsafat sampai perenungan agama yang akan dipaparkan sebagai
berikut:
B.
Pembahasan.
a)
Makna kematian Menurut
Sains
Dalam buku karangan Drs.Sidi Gazalba yang
berjudul Maut, Santoso membeiritakan
tahap-tahap kematian. Proses kematian dapat dibagi dalam tiga tahap[2]:
Pertama: tahap preagonal (awal sakaratulmaut). Terjadi gangguan peredaran
darah, tekanan darah nadi menurun dan sesak napas. Kesadaran masih ada tapi
agak berkabut.
Kedua: tahap agonal (sakaratulmaut). Hilang
kesadaran, refleks mata tidak ada, pernapasan yang terputus-putus, gerak
nadinya tidak terasa lagi, tapi masih dapat diraba pada bagian pembuluh darah
leher.
Ketiga: tahap mati-klinik. Tanda-tanda hidup
yang dapat diperiksa dari luar, tidak dapat ditemukan lagi. Jantung dan
pernapasan berhenti sama sekali.
Dalam mati-klinik,
orang masih dapat ditolong untuk hidup kembali. Tetapi setelah tahap ini lewat,
berlangsunglah akhir kehidupan, yaitu mati
biologi. Pada tahap ini seluruh kemampuan manusia, seluruh kepintaran ilmu
tak mungkin menolong lagi. Sebab sel-sel otak mengalami kesukaran, yaitu mulai
membusuk, yang diluar kemampuan manusia untuk menyembuhkannya.
Jadi secara konkrit kematian atau maut itu adalah
rusaknya jasmani atau bagiannya yang berfungsi. Visum et repertum tentang
seseorang yang meninggal (dalam masyarakat yang modern) bertugas menerangkan
sebab kematian. Sebab tersebut merupakan gejalan-gejala yang dapat diteliti,
dapat dibuktikan, dapat diamati dengan pancaindra, sekalipun dengan alat, dan
juga dapat diterima oleh pikiran.
Berdasarkan anggapan bahwa dalam diri manusia ada roh,
ilmu sudah semenjak dulu menumpahkan perhatian kepada roh itu. Tetapi sampai
sekarang ia masih belum dapat mengatakan secara positif. Sebabnya kemampuan
ilmu terletak pada penelitian segala sesuatu yang konkrit (materi) serta manifestasi
dan peristiwa nyata. Karena ilmu tidak tahu apa roh itu sesungguhnya dan karena
ia abstrak, tidaklah dapat dipastikan sebenarnya. Apakah dalam diri manusia ada
roh ( kalau ada dimana tempatnya) dan apakah kematian berarti roh keluar
(berpisah) dari jasmani?
Jadi terhadap pertanyaan: Apakah kematian sesungguhnya
menurut sains? Namun ilmu sains tidak dapat pula memberikan jawaban yang pasti
dan sesungguhnya. Ia hanya dapat menerangkan gejala-gejala itu, ia tidak dapat
mengatakannya dengan positif. Satu-satunya jalan untuk memperoleh keterangan
positif tentang kematian ialah melakukan eksperimen mati. Eksperimen adalah
metode ilmu yang paling ampuh untuk memaksa alam dalam membuka rahasianya.
Di Universitas Chicago (Amerika Serikat) melakukan
penelitian tentang bagaimana manusia itu dalam sakaratulmaut, yakni ketika
manusia berada diambang pintu maut. Riset ini adalah dalam rangka menghimpun
data tentang masalah mati. Penelitian itu berlangsung selama lima tahun
dilakukan setiap hari selasa di kamar mati, kemana pasien-pasien yang menghadap
maut dibawa. Banyak diantara pasien itu ingin menceritakan apa yang dialaminya.
Tetapi kecepatan ajal melumpuhkannya untuk bercerita. Sebab satu kali orang
mati, ia tidak dapat berbicara lagi. Adalah suatu kepastian setiap yang mati
tidak mungkin hidup kembali.
Dari data yang terkumpul, penelitian-penelitian itu
menyimpulkan lima tingkatan terakhir dari perjalanan hidup ke ajal:
1. Pengingkaran
2. Kemarahan
3. Tawar-menawar
4. Kesediaan
5. Kepasrahan
Demikian kesimpulan Dr. Elizabeth Kubler-Ross, yang
semenjak tahun 1965 bekerja di rumah sakit Universitas Chicago, yang ikut
memimpin penelitian. Dan pengalamannya dalam penelitiannya itu ditulis dalam
bikunya On Death and Diving, terbitan Macmillan.
Nyatalah metode ilmu yang begitu ampuh (penelitian dan
eksperimen) tidak berdaya terhadap peristiwa mati, ia ternyata gagal bila
dikenakan kepada masalah maut, ilmu tak mungkin menerangkan maut secara
pasti. hanya sepanjang yang dapat
diterima oleh pancaindra. Ia sangat
sukses jika mencari kebenaran dan menyatakan kebenaran tentang manusia yang
hidup, dunia hewan, tanaman dan benda mati, tetapi selubung rahasia mati tetap
tertutup baginya.
b)
Makna kematian Menurut Filosof
Apabila suatu masalah berada
di luar bidang penelitian dan eksperimen, maka ia menjadi bagian dari persoalan
filsafat. Kita tidak bisa menyuarakan pandangan yang sama tentang kematian dari
sudut ini, karena dalam filsafat sendiri mempunyai banyak aliran. Namun, pada
dasarnya kesemua pendapat dapat dipulangkan ke dalam dua bagian besar, yakni
materalisme dan idealisme[3].
Jika ditanyakan kepada materialisme apa itu manusia?
Maka jawabannya adalah : manusia itu materi, jasmani, terdiri dari sel-sel yang
kongkrit, yang dapat ditangkap oleh indra. Saat dikejar pertanyaan tentang roh,
fikir, rasa, kemauan dan kesadaran, materialisme ini bisa saja mengakui
keberadaannya namun bukan sebagai sesuatu yang substansial, melainkan hanya
aktifitas, kerja atau fungsi dari materi saja.
Bagaimanakah kalau manusia mati? Materi manusia tidak
lagi menjalankan fungsinya. Ia berubah bentuk. Tetapi tetap menjadi materi,
dari materi kembali menjadi materi. Maka pertanyaan: apa itu maut? Dijawab oleh
materialism dengan: berhentinya materi (jasmani) berfungsi atau bekerja. Apa
yang terjadi sesudah mati? Dijawabnya: sesudah mati tidak apa-apa lagi.
Sejalan
dengan paham diatas, alah satu tokoh materialisme, Aristoteles memang
berpendapat bahwa analgi dari jiwa dan tubuh ibarat bentuk dan materi. Jiwa
adalah bentuk dan tubuh adalah materi. Jiwa adalah penggerak tubuh, kehendak
jiwa menentukan perbuatan dan tujuan yang akan dicapai. Aristoteles
mengibaratkan jiwa dan tubuh bagaikan kampak. Jika kampak adalah benda
hidup, maka tubuhnya adalah kayu atau metal, sedangkan jiwanya adalah kemampuan
untuk membelah dan segala kemampuan yang membuat tubuh tersebut disebut kampak.
Sebuah kampak tidak bisa disebut kampak apabila tidak bisa memotong, melainkan
hanya seonggok kayu atau metal. Disadari oleh Aristoteles bahwa tubuh bisa mati
dan oleh sebab itu, maka jiwanya juga ikut mati. Seperti kampak tadi yang
kehilangan kemampuannya, manusia juga demikian ketika mati ia akan kehilangan
kemampuan berpikir dan berkehendak.
Tetapi jawaban seperti di atas di tolak oleh oleh
kategosri filsafat yang kedua, yakni Idealisme. Pandangan idealisme beranggapan
bahwa hakikat dari segala yang ada adalah roh. Roh adalah awal dan akhir. Semua
berasal dari roh dan kembali pada roh.
Apakah itu manusia? Pandangan idealism menjawab bahwa
hakikat manusia adalah roh. Manusia yang kita hadapi itu bukanlah terdiri dari
jasmani yang kongkrit yang dapat ditangkap panca indera. Materi hanyalah
penjelmaan roh saja. Jika manusia
mati, penjelmaan roh itu berhenti. Materi kembali kepada asalnya, yaitu roh.
Dan roh melanjutkan kehidupannya yang abstrak bagi metafisik.
Plato
adalah salah satu tokoh idealisme, beliau dengan tegas membedakan jiwa dengan
tubuh. Jiwa menurut pandangan Plato, tidak dapat mati karena merupakan sesuatu yang
adikodrati berasal dari dunia ide. Meski kelihatan bahwa jiwa dan tubuh saling
bersatu, tetapi jiwa adalah hal
yang asing dalam tubuh karena asalnya pun berlainan.[4]
Tubuh memenjarakan jiwa, oleh karenanya jiwa harus dilepaskan dari tubuh dengan
dua macam cara yaitu pertama dengan kematian dan kedua dengan pengetahuan. Jiwa
yang terlepas dari ikatan tubuh bisa menikmati kebahagiaan melihat ide karena
selama ini ide tersebut diikat oleh tubuh dengan keinginan atau nafsu badaniah
sehingga menutup penglihatan terhadap ide.
c) Makna Kematian Menurut
Agama-Agama
1. Agama Kristen
Kitab Suci memandang kematian
sebagai hal yang alami dan sebagai akibat dosa..[5] Kematian ialah perpisahan
antara tubuh dan roh. Jiwa atau kesadaran tubuh yang tidak memiliki roh. Tubuh
bersifat sementara atau fana, sedangkan jiwa atau roh kekal. Karena itu,
kematian bukan merupakan akhir dari kisah kehidupan manusia. Ketika manusia
mati, tubuh insanilah yang berakhir atau lenyap, sedangkan jiwa atau roh
manusia tetap hidup.
Jiwa orang-orang yang berada di
dalam Kristus akan menerima keselamatan roh pergi ke sorga, sedangkan jiwa-jiwa
yang menolak Yesus akan masuk ke dalam siksaan api neraka. Sesudah itu mereka
dihukum untuk selama-lamanya kelautan api kekal.[7] Katolik Roma, percaya bahwa
setelah kematian, jiwa orang yang meninggal berada di tempat penantian, dan
jiwa itu dibersihkan sebelum masuk ke dalam ssorga. Protestan, mempercayai
bahwa seseorang Kristen akan mati dan jiwanya langsung pergi bertemu Allah di
sorga. Jiwa itu menantikan saat dibangkitkan dan kerajaan Kristus akan
didirikan di dunia.
2. Agama Islam
Maut atau mati adalah terpisahnya “roh
dari zat, jiwa dari badan atau keluarnya roh dari badan atau jasmani. Pada
akhirnya, maut adalah akhir dari kehidupan dan sekaligus awal kehidupan (yang
baru). Jadi maut bukan kesudahan, kehancuran atau kemusnahan. Maut adalah suatu
peralihan dari suatu dunia ke dunia lainnya. Setiap manusia mesti mengalami
akhir kehidupan itu, yang sering disebut dengan kematian. Hal ini dinyatakan
secara tegas Al-Quranul Karim pada S. Ali ‘Imran: 185; “Tiap-tiap yang berjiwa
akan merasakan mati. Dan baru pada hari kiamatlah disempurnakan pahalamu.
Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh
ia beruntung.
Kematian merupakan awal atau
pintu gerbang menuju kehidupan. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa sesungguhnya
kematian itu sebenarnya kehidupan. Artinya, jika seseorang ingin hidup terus
menerus, maka ia harus mengalami kematian terlebih dahulu. Tanpa kematian tidak
akan ada kehidupan abadi. Atau dalam istilah Al-Qur;an, orang yang mati
disebutkan “kembali kepada sang pencipta”. Manusia terbagi atas dua unsur yaitu
roh/jiwa dan tubuh (jasad) adalah unsur tanah/bumi. Roh atau nyawa manusia
adalah zat halus, yang pada waktu mati meninggalkan tubuhnya yang kasar itu
3. Agama Budha
Ada 3 (tiga) jenis kematian dalam
agama Budha:
- Khanika Marana
- Sammuti Marana
- Samuccheda Marana
4. Agama Hindu
Menurut agama Hindu, kematian itu merupakan saat yang sangat
penting, bahkan saat menentukan arti kehidupan seseorang. Kematian akan
memberikan arti pada segala usaha dan kemeriahan yang kita dapatkan selama kita
hidup. Oleh karena itulah dianjurkan agar orang segera mengingat Tuhan Yang
Maha Esa pada saat meninggal.
Agama Hindu mempunyai keyakinan bahwa dengan mengingat dan bersujud pada Tuhan disaat meninggalkan badan kasar adalah sangat menentukan tempat yang akan dituju di alam sana .
Agama Hindu mempunyai keyakinan bahwa dengan mengingat dan bersujud pada Tuhan disaat meninggalkan badan kasar adalah sangat menentukan tempat yang akan dituju di alam sana .
Kesempatan untuk ingat Tuhan pada
detik-detik kematian bukanlah hadiah atas tidak melakukan apa-apa. Ia merupakan
hasil dari pembiasaan menyebut, memanggil, memuja dan menyembah, mengingat,
meneriakkan dan menyerahkan diri menyeluruh kepada Tuhan. Tidak perlu berbangga
diri jika memiliki ketenangan menyambut kematian, tanpa harus membiasakan diri
membawa kesadaran kepada-Nya setiap hari. Hanya dengan membiasakan kesadaran
ingat Tuhan pada saat meninggal akan terjadi, dan ia akan mampu mengantarkan
kita ke tempat yang indah dalam spiritual.
Sesungguhnya kematian dan kehidupan secara fundamental bukanlah pengalaman-pengalaman yang tersendiri, yang terisolasi dari yang lain. Manakala ingatan masih bertahan, ini kita sebut tidur. Bila ingatan hilang sama sekali, disebut mati. Setiap orang Hindu mengharapkan agar mati di dekat sungai Gangga supaya tulang-tulang dan abu mereka dapat tenggelam di dalam air. Sehingga mereka dapat mengakhiri lingkaran kehidupan kembali.
Sesungguhnya kematian dan kehidupan secara fundamental bukanlah pengalaman-pengalaman yang tersendiri, yang terisolasi dari yang lain. Manakala ingatan masih bertahan, ini kita sebut tidur. Bila ingatan hilang sama sekali, disebut mati. Setiap orang Hindu mengharapkan agar mati di dekat sungai Gangga supaya tulang-tulang dan abu mereka dapat tenggelam di dalam air. Sehingga mereka dapat mengakhiri lingkaran kehidupan kembali.
C.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Aprillins 2010, Perbandingan pemikiran Plato dan Aristoteles
tentang jiwa dan raga, dilihat tanggal 28 mei 2012, dari <http://aprillins.com/2010/1682/perbandingan-pemikiran-plato-dan-aristoteles-tentang-jiwa-dan-raga/>.
Ø Gazalba, S 1975, Maut, Tintamas, Jakarta.
Ø Yahya, H, Hikmah kematian, dilihat tanggal 28 mei
2012, dari
Ø Ya’qub, H 1992, Filsafat agama, Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta.
Caver
KEMATIAN
MENURUT
MEDIS,
FILSAFAT DAM AGAMA
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Manusia
Oleh:
Annisa Zahra
Amirul Muttaqin
Fitriani
M. Zahidin Arif
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1433 H
2012
[1]
Harun Yahya, Hikmah kematian, dilihat
tanggal 28 mei 2012, dari <http://blognyafitri.wordpress.com/2012/05/20/hikmah-kematian/>.
[2]
Sidi Gazaliba, Maut, (Jakarta:
Tintamas, 1975), hal 51-54
[3]
Sidi Gazaliba, Maut, (Jakarta:
Tintamas, 1975), hal 51-54
[4]
Hamzah ya’qub, Filsafat Agama, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya: 1992), hal. 153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar