A.
Pendahuluan
Mengkaji filsafat merupakan aktifitas yang
tidak pernah lepas dari analisa proses perkembangannya. Berbeda dengan ilmu
pengetahuan lain yang tidak perlu merunut pengamatan terhadap sejarah
kemajuannya. Bisa saja, seorang ilmuan yang memahami gaya grafitasi tidak
mengetahui bahwa Isaac Newton yang menemukannya. Kajian filsafat tidak dapat
dijalankan seperti itu, melainkan harus memulai dari sejarah perkembangan
awalnya hingga keberadaannya pada masa ini. Hal demikian bisa dimengerti
mengingat
filsafat adalah proses dialog orang-orang di zamannya yang kemudian dilanjutkan para generasinya. Dalam makalah ini penulis akan mengulas mengenai perkembangan filsafat pada masa modern. Lebih spesifiknya, penulis hendak membahas tentang salah satu tokoh idealisme pada masa modern itu, yakni J. G. Fichte, Friedrich Wilhelm Schelling
filsafat adalah proses dialog orang-orang di zamannya yang kemudian dilanjutkan para generasinya. Dalam makalah ini penulis akan mengulas mengenai perkembangan filsafat pada masa modern. Lebih spesifiknya, penulis hendak membahas tentang salah satu tokoh idealisme pada masa modern itu, yakni J. G. Fichte, Friedrich Wilhelm Schelling
Idealisme
merupakan salah satu aliran dalam sejarah filsafat barat modern yang
berpandangan bahwa kenyataan akhir yang sungguh-sungguh nyata itu adalah
pikiran (idea), dan bukanlah benda di luar pikiran kita (materi). Realitas itu
sama luasnya dengan pikiran, maka yang real itu rasional dan yang rasional itu
real. Benda-benda di luar pikiran, seperti alam, masyarakat, alat-alat dan
seterusnya. Tidak memiliki status ontologisnya, yaitu tidak sungguh-sungguh real. Tak ada benda-benda di
luar pikiran, benda yang kita lihat seolah-olah di luar pikiran kita, seperti
kursi di hadapan kita, sebenarnya adalah idea atau pikiran dalam bentuk
lahiriah.
B. Riwayat Hidup
1.
J. G. Fichte
Johann
Gottlieb Fichte (1762-1814), yang dilahirkan di Rammenau, Jerman. Ia belajar
teologia dan filsafat. Karena ia menakjubi Kant pindahlah ia ke Koningsbergen.
Dalam waktu empat minggu telah berhasillah ia menulis bukunya: Versuch einer
Kritik aller Offenbarung, atau “usaha suatu kritik atas segala wahyu”(1792).
Buku ini bernafaskan Kant, sehingga orang mengira, bahwa Kantlah penulisnya.
Ketika diketahui bahwa Kant, melainkan Fichtelah penulisnya, mendadak namanya
menjadi terkenal. Kemudian ia menjadi guru besar di Jena. Pada tahun 1799,
karena terlibat dalam “ perang ateisme” itu ia mengundurkan diri dan pindah ke
Berlin. Ia meninggal pada tahun 1814.
Filsafatnya
disebut Wissenschaftslehre atau “ajaran Ilmu Pengetahuan”.[1] Filsafat sebagai ajaran tentang ilmu pengetahuan
dibedakan antara: a). Ajaran tentang ilmu pengetahuan yang
teoritis, b). Ajaran tentang
ilmu pengetahuan yang praktis. Didalam bagian yang teoritis dibicarakan hal
metafisika dan ajaran tentang pengenalan, sedang didalam bagian yang praktis dibicarakan hal etika.
Didalam
ajaran tentang ilmu pengetahuan yang teoritis Fichte menentang pendapat
Kant, yang mengatakan bahwa hanya berpikir secara ilmu pasti alamlah yang mem, beir
kepastian di bidang pengenalan. Fichte tidak mau memisahkan rasio teoritis
daripada rasio praktis. Jikalau benar, bahwa rasio adalah satu dalam segala
perbuatannya, harus mungkin menurunkan kategori yang bermacam-macam itu dari
satu sumber saja, bukan dari dua sumber, seperti yang dilakukan Kant ( rasio
murni dan rasio praktis). Menurut Fichte, sumber yang satu itu terdapat pada
aktivitas Ego atau “Aku”.[2] Apa sebab Ego menciptakan dunia, dijelaskan demikian:
Menurut Fichte, keadaan Ego tidaklah terbatas. Agaknya yang dimaksud dengan Ego
ini adalah Ego mutlak (Ego Absolut) yang dibedakan dengan “Aku” perorangan. (
ada orang yang berpendapat, bahwa yang dimaaksud dengan Ego adalah Allah, akan
tetapi ada juga yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan Ego bukan Allah
yang berpribadi, melainkan “tertib moral dari alam semesta”, suatu kuasa yang
bekerja didalam dan melalui pribadi perorangan yang kita kenal.
Di
dalam ajarannya tentang ilmu pengetahuan yang praktis Fichte menetang Kant,
yang mengajarkan bahwa orang harus mentaati kewajiban. Menurut Fichte, yang
penting bukan Ego atau “Aku” manusia dalam arti yang seideal mungkin. Sebab
“Aku” itulah yang mengajarkan tata tertib serta keselarasan di tengah-tengah
benda yang banyak sekali itu. Makin mendalam orang yang menyelami alam semesta,
makin luas cakrawala tata tertib itu.
Jadi
manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bersifat moral. Hidup moral
mengandung didalamnya suatu usaha. Tugas manusia bukan hanya untuk mengetahui,
tetapi juga untuk berbuat sesuai dengan pengetahuannya. Manusia mempunyai tugas
yang harus dipenuhi dengan perantaraan bahan-bahan tertentu. Dunia adalah
sasaran bagi tugas manusia dan daerah tempat ia memenuhi tugas-tugas itu. Moralitas terdiri dari aktivitas diri
yang mutlak, yang bebas sama sekali, yang tidak dibatasi oleh sesuatu apapun
diluarnya. Inilah asas otonomi. Di dalam hal ini ada kesamaan antara Kant dan
Fichte.
Isi tugas moral moral manusia diturunkan dari
dua dasar pikiran, yaitu: bahwa manusia berkewajiban menghargai dirinya sendiri
sebagai makhluk yang bebas, dan bahwa ia senantiasa berkewajiban berbuat dengan
tidak memperkosa kebebasan orang lain. Umpamanya: saya hanya dapat berbuat dengan perantaraan tubuh saya; oleh
karenanya saya harus memelihara tubuh itu sebaik-baiknya sebagai alat bagi
perbuatan moral. Umpama yang lain: hak milik timbul dari kenyataan, bahwa milik
memungkinkan orang berusaha mendapatkan milik sendiri, tetapi juga untuk
menghormati hak milik orang lain.
2. F.
W. J. Schelling
Friedrich
Wilhelm Joseph von Schelling (1775-1854), ia adalah seorang yang terlalu cepat
menjadi dewasa. Semula ia belajar teologi di Tubingen, dimana ia berkenalan
dengan Hegel. Pada waktu ia masih berumur 17 tahun ia telah menulis suatu
disertasi tentang Bab 111 dari Kitab Kejadian (bagian Kitab Taurat). Pada tahun
1798, ketika ia baru berumur 23 tahun, ia telah menjabat guru besar di Jena, di
mana ia sekaligus menjadi murid dan pembantu Fichte. Kemudian ia berpindah dari
Universitas yang satui ke universitas yang lain (umpamanya: di Munchen,
Erlangen, Berlin). Pada tahun 1854 ia meninggal dunia di Bad Ragaz.
Para ahli Perpendapat dalam pemikiran scherlling jelas
ada tiga pemikiran yaitu adalah:
a)
Tahap filsafat Alam.
b)
Tahap filsata identitas.
c)
Tahap filsafat wahyu atau filsafat positif.[3]
Oleh karena itu kami akan membahas
Pemikiran schelling akan tetapi Sebelum melangkah pada pemikiran Schelling
lebih dalam, ada baiknya kita merunut dari pemikiran gurunya, Fichte. Sang Guru
menjelaskan bahwa pengetahuan harus bertolak dari pengalaman (erfahrung).
Hanya saja pengalaman yang dimaksudkan oleh Fichte itu berbeda dengan yang
dimaksudkan oleh Kant. Fichte menyatakan bahwa pengalaman tersebut adalah
presentasi. Ada dua macam presentasi;
a).Presentasi dengan Rasa Bebas
Misalnya saat
kita membayangkan dalam imajinasi kita bahwa kita sedang jalan-jalan di kota Jakarta dengan
segala gemerlap kotanya di malam hari.
b).Presentasi dengan Keniscayaan
Misalnya ketika
kita sedang ada di kelas ini mendengarkan keterang Dosen tercinta kita dalam keadaan duduk bersama teman-teman
sekelas kita saat ini.Perbedaan
antara dua presentasi tersebut dalam segi kemandiriannya adalah bahwa
presentasi pertama tidak membutuhkan obyek dan karena itulah ia disebut bebas,
sedangkan presentasi kedua tergantung pada obyek.
Dalam
pengalaman (erfahrung) terdapat dua unsur yang saling terjalin dan
terkait, yaitu subjek dan objek. Lantas kemudian muncullah pertanyaan: Di
antara keduanya, manakah yang menghasilkan pengalaman aktual? Maka jawabannya
adalah Subjek. Fichte mengunggulkan subjek atas objek karena Subjek menghasilkan
pengalaman aktual.
Dari titik
inilah kita akan melangkah pada pemikiran Schelling. filsafat alam Schelling
bertolak dari ketidak-sepakatannya pada konsep pembedaan atau bahkan
pengunggulan subjek atas objek sebagaimana diungkapkan oleh Fichte. Kata
Schelling, pembedaan macam itu muncul dari refleksi yang bermula dari perasaan
dan bukannya filsafat.
Perbedaan
antara subjek dan objek berawal dari refleksi. Refleksi menjadikan jarak antara
sesuatu yang ada di luar kita (alam) dan konsep yang kita tangkap yang terdapat
dalam Idea kita (Roh). Kemudian refleksi memperlakukan konsep atau gambaran
alam tersebut sebagai objek. Refleksi membangun pangkal pembedaan antara yang
Riil dan yang Ideal. Jika pangkal ini dihapus, maka yang terjadi adalah
kesatuan. Lebih tepatnya kesatuan antara Subjek dan Objek, antara yang Riil dan
yang Ideal, antara yang Roh dan Alam. Jika kita memberikan jarak antara subjek
dan objek, maka kita akan tertipu karena hal tersebut berdasarkan perasaan
belaka. Yang harus kita lakukan adalah pendasaran pada filsafat hingga kemudian
kita memahami bahwa yang dipikirkan dan yang memikirkan sebenarnya adalah satu
(ittihad al-aqil wa al-ma`qul).
Manusia
mempunyai kemampuan untuk berpikir tentang segala yang ada di Alam. Dia, dengan
Roh-nya, akan bertanya sesuatu hal dan memaksa Alam untuk menjawabnya. Proses
ini disebut sebagai proses dialog. Alam kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang dijawab oleh Roh tersebut. Hal ini sebenarnya berimplikasi pada kenyataan
bahwa Alam sesuai dengan tuntutan Akal (Roh). Keduanya sebenarnya satu, atau
bisa dikatakan bahwa Alam adalah Roh yang tampak dan Roh adalah Alam yang Tidak
Tampak dan bahwa Materi adalah kecerdasan yang tidur.
Dari situ
kemudian dapat dipahami bahwa Alam bukanlah sesuatu yang sersifat mekanis yang
berjalan secara otomatis begitu saja melainkan sebuah proses yang dinamis dan
terpadu mengarah pada suatu tujuan tertentu atau biasa disebut sistem
teleologis. Sistem ini bisa digambarkan dengan penjelasan bahwa Alam merupakan
sebuah sistem dinamis atau organisme yang hidup yang bergerak dan menuju
finalitas tertentu. Kemudian dia akan kembali kepada dirinya sendiri dalam Roh
Manusia dan melalui Roh manusia itu.Pandangan
Schelling tentang alam. yang demikan itu dikokohkan dengan suatu teori tentang
suatu yang mutlak. Ilmu pengetahuan adalah suatu totalitas dimana segala
bagiannya dihubungkan secara organis dibawah satu syarat. Syarat yang asasi ini
tidak dapat diturunkan dari ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi syarat itu
mendahuluinya sebagai sesuatu yang tanpa syarat.
Kemudian Filsafat
Identitas bermula dari penolakan atas teori ‘refleksi’ Fichte, Alam mengenal
cerminannya. Melalui Refleksi ala Schelling (yang berdasarkan pendasaran
filsafati dan bukannya perasaan), kini Alam telah mengenali dirinya kembali
melalui Refleksi itu. Inilah yang disebut dengan identitas dan itulah
‘identitas absolut’. Kemudian lengkaplah sudah sistem ilmu pengetahuan.
Kemudian
Schelling beranjak pada eksplanasi mengenai Aku-Absolut. Aku-Absolut, baginya,
adalah sesuatu yang netral; bukan materi dan juga bukan spirit, bukan subjektif
juga bukan objektif. Dalam tindakannya, Roh-Absolut mempunyai tiga tahap yang berjalan
serentak, yaitu;
1. Eksternalisasi, Objektivikasi
dari Absolut (natura naturans) ke Alam Material (natura naturata)
2. Internalisasi, Alam memiliki
subjektivitasnya sendiri yang kemudian dipresentasikan dalam pikiran manusia
3. Unifikasi
Penyatuan antara Absolut Objektif dan Absolut Subjektif
Tiga tindakan
tersebut bergerak serentak dan terlepas dari ikatan waktu. Itulah yang disebut
sebagai tindakan pengetahuan.
Selanjutnya
kita melangkah pada pembahasan filsafat transendental. Dalam bab ini, Schelling
menjelaskan tentang bagaimana Aku atau sang Ideal merealisasikan dirinya
sebagai kehendak. Aku atau Ideal menyadari akan dirinya sebagai kehendak karena
suatu keharusan (sollen) yang mendahului kehendak. Oleh karena kehendak
itu diarahkan pada objek yang ada di luar, maka hasil kehendak tersebutlah yang
menimbulkan kemunculan dunia luar. Jika ada sesuatu yang berubah di dunia luar
tersebut, karena kesatuan, maka ada perubahan juga yang terjadi dalam sang Aku.
Hukum Alam dan
Hukum Moral adalah identik di dalam tertib kosmik. Selanjutnya, pernyataan
inilah yang mendasari pemikiran Schelling dalam negara, hukum dan sejarah.
Baginya, sejarah merupakan pernyataan berkesinambungan dari Yang Absolut yang
selalu memanifestasikan diri-Nya.
Pikiran-pikiran pokokn-pokoknya ada tiga yaitu aadalah:
a)
.Empat Periode
Fisafat schelling berkemban sepanjang hidupnya, sehingga
sukar untuk berbicar tentang sistem schelling. Corak berpikir schelling pada
ahir hidupnya cukup berbeda dari corak berfikir” schelling yang muda”. Biasanya
dibedakan empat Periode dalam pikiran schelillng: yang pertama Periode
Filsafat Alam. Kedua Periode Sistem Idealistis ketiga Sinkretisme.
Keemapt Periode Teosofi
b)
Edealisme Obyektif.
Filsafat Scelling dalam periode kedua merupakan semacam
sintesis pikiran Spinoza dan pikiran Kant. Kant (dan kemudian Fichte)
menekankan peranaan subjek dalam pengetahuan. Menurut meraka, kenyataan di luar
mansia diberi strukturnya oleh subyek.itu sama sekali lain dalam filsafat
Spinoza.
Menurut Spinoza memang hanya ada satu “subyek”, yaitu
alam atau Allah, keseluruhan obyektif substansi yang satu-satunya. Hasil dari
sintesis Kant-Spinoza dalam pikiran Schelling ialah bahwa baik saya maupun alam (dunia obyektif) merupakan suatu
“subyek”. Baik manusia maupun alam mempunyai suatu “kehendak”. Baik manusa
maupun alam diciptakan dengan suatu “kebebasan” dan berkat kebebasan ini baik
manusia maupun alam bisa memilih antara kebaikan dan kejahatan. Manusia dapat
memilih untuk dekat Allah, atau justru untuk menjauhkan diri dari Allah. tetapi
juga dalam “kehendak alam” terdapat kedua kemungkinan ini. Juga mempunyai suatu
“unsur kegelapan”.
c)
Teosofi
Dalam periode
keempat, pikiran Schelling cukup berbeda dari semua periode lain. Pengaruh Kant
dan Spinoza hampir tidak kelihatan lagi. Juga persahabatan antara Fichte dan
Schelling dalam periode keempat sudah pecah. Dalam periode ini Schelling
dipengaruhi oleh pemikir Katolik F.X. Baader (1765-1841) dan oleh Mistikus
J.Bohme (1575-1624). Disini Schelling menjadi seorang filusuf nabi. Pikirannya
menjadi campuran antara agama, Romantik dan ngelmu. Dan segala sesuatu menjadi
agak kabur, tanpa struktur. Dia sendiri menamai corak berpikir ini: “filsafat
tentang mitologi dan wahyu”, tetapi menurut orang lain filsafat ini lebih
merupakan suatu “pengetahuan rahasia” tentang pertanyaan-pertanyaan terakhir,
yaitu Tuhan, tujuan manusia, tujuan sejarah asal kebebasan dan kejahatan.[4]
C. Penutup
Demikianlah kiranya dapat dilukiskan
ssdikit pikian-pikiran dasar yang terdapat pada para idealis Jerman. Tetapi
sistem-sistem mereka berbeda-beda karena mereka mempunyai anggapan yang
berlain-lainan tentang Subyek Absolut. Fichte menentukan Subyek Absolut sebagai
“Aku Absolut”, Schelling (sekurang-kurangnya dalam salah satu periode
perkembang-annya) sebagai “identitas Absolut”, Dalam sistem Fichte terutama
moralitas yang menjadi pusat pemikirannya, sedangkan dalam sistem Schelling
mistik.
D. Daftar Pustaka
-Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat
Barat Modern, PT Gramedia, Jakarta: 1983.
-Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, Kansius, Yogyakarta : 1980.
Cafer Makalah
IDEALISME
I
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Barat Modern
Oleh:
Tuti Maesaroh
1110033100052
Amirul Muttaqin
111033100056
Jurusan Akidah Filsafat
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar