Senin, 16 April 2012

IDEALISME


A.  Pendahuluan
Mengkaji filsafat merupakan aktifitas yang tidak pernah lepas dari analisa proses perkembangannya. Berbeda dengan ilmu pengetahuan lain yang tidak perlu merunut pengamatan terhadap sejarah kemajuannya. Bisa saja, seorang ilmuan yang memahami gaya grafitasi tidak mengetahui bahwa Isaac Newton yang menemukannya. Kajian filsafat tidak dapat dijalankan seperti itu, melainkan harus memulai dari sejarah perkembangan awalnya hingga keberadaannya pada masa ini. Hal demikian bisa dimengerti mengingat
filsafat adalah proses dialog orang-orang di zamannya yang kemudian dilanjutkan para generasinya. Dalam makalah ini penulis akan mengulas mengenai perkembangan filsafat pada masa modern. Lebih spesifiknya, penulis hendak membahas tentang salah satu tokoh idealisme pada masa modern itu, yakni J. G. Fichte,  Friedrich Wilhelm Schelling
Idealisme merupakan salah satu aliran dalam sejarah filsafat barat modern yang berpandangan bahwa kenyataan akhir yang sungguh-sungguh nyata itu adalah pikiran (idea), dan bukanlah benda di luar pikiran kita (materi). Realitas itu sama luasnya dengan pikiran, maka yang real itu rasional dan yang rasional itu real. Benda-benda di luar pikiran, seperti alam, masyarakat, alat-alat dan seterusnya. Tidak memiliki status ontologisnya, yaitu tidak sungguh-sungguh real. Tak ada benda-benda di luar pikiran, benda yang kita lihat seolah-olah di luar pikiran kita, seperti kursi di hadapan kita, sebenarnya adalah idea atau pikiran dalam bentuk lahiriah.
B.  Riwayat Hidup
1.      J. G. Fichte
Johann Gottlieb Fichte (1762-1814), yang dilahirkan di Rammenau, Jerman. Ia belajar teologia dan filsafat. Karena ia menakjubi Kant pindahlah ia ke Koningsbergen. Dalam waktu empat minggu telah berhasillah ia menulis bukunya: Versuch einer Kritik aller Offenbarung, atau “usaha suatu kritik atas segala wahyu”(1792). Buku ini bernafaskan Kant, sehingga orang mengira, bahwa Kantlah penulisnya. Ketika diketahui bahwa Kant, melainkan Fichtelah penulisnya, mendadak namanya menjadi terkenal. Kemudian ia menjadi guru besar di Jena. Pada tahun 1799, karena terlibat dalam “ perang ateisme” itu ia mengundurkan diri dan pindah ke Berlin. Ia meninggal pada tahun 1814.
Filsafatnya disebut Wissenschaftslehre atau “ajaran Ilmu Pengetahuan”.[1]  Filsafat sebagai ajaran tentang ilmu pengetahuan dibedakan antara: a). Ajaran tentang ilmu pengetahuan yang teoritis, b). Ajaran tentang ilmu pengetahuan yang praktis. Didalam bagian yang teoritis dibicarakan hal metafisika dan ajaran tentang pengenalan, sedang didalam bagian yang praktis dibicarakan hal etika.
Didalam ajaran tentang ilmu pengetahuan yang teoritis Fichte menentang pendapat Kant, yang mengatakan bahwa hanya berpikir secara ilmu pasti alamlah yang mem, beir kepastian di bidang pengenalan. Fichte tidak mau memisahkan rasio teoritis daripada rasio praktis. Jikalau benar, bahwa rasio adalah satu dalam segala perbuatannya, harus mungkin menurunkan kategori yang bermacam-macam itu dari satu sumber saja, bukan dari dua sumber, seperti yang dilakukan Kant ( rasio murni dan rasio praktis). Menurut Fichte, sumber yang satu itu terdapat pada aktivitas Ego atau “Aku”.[2] Apa sebab Ego menciptakan dunia, dijelaskan demikian: Menurut Fichte, keadaan Ego tidaklah terbatas. Agaknya yang dimaksud dengan Ego ini adalah Ego mutlak (Ego Absolut) yang dibedakan dengan “Aku” perorangan. ( ada orang yang berpendapat, bahwa yang dimaaksud dengan Ego adalah Allah, akan tetapi ada juga yang mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan Ego bukan Allah yang berpribadi, melainkan “tertib moral dari alam semesta”, suatu kuasa yang bekerja didalam dan melalui pribadi perorangan yang kita kenal.
Di dalam ajarannya tentang ilmu pengetahuan yang praktis Fichte menetang Kant, yang mengajarkan bahwa orang harus mentaati kewajiban. Menurut Fichte, yang penting bukan Ego atau “Aku” manusia dalam arti yang seideal mungkin. Sebab “Aku” itulah yang mengajarkan tata tertib serta keselarasan di tengah-tengah benda yang banyak sekali itu. Makin mendalam orang yang menyelami alam semesta, makin luas cakrawala tata tertib itu.
Jadi manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bersifat moral. Hidup moral mengandung didalamnya suatu usaha. Tugas manusia bukan hanya untuk mengetahui, tetapi juga untuk berbuat sesuai dengan pengetahuannya. Manusia mempunyai tugas yang harus dipenuhi dengan perantaraan bahan-bahan tertentu. Dunia adalah sasaran bagi tugas manusia dan daerah tempat ia memenuhi tugas-tugas itu. Moralitas terdiri dari aktivitas diri yang mutlak, yang bebas sama sekali, yang tidak dibatasi oleh sesuatu apapun diluarnya. Inilah asas otonomi. Di dalam hal ini ada kesamaan antara Kant dan Fichte.
 Isi tugas moral moral manusia diturunkan dari dua dasar pikiran, yaitu: bahwa manusia berkewajiban menghargai dirinya sendiri sebagai makhluk yang bebas, dan bahwa ia senantiasa berkewajiban berbuat dengan tidak memperkosa kebebasan orang lain. Umpamanya: saya hanya dapat berbuat dengan perantaraan tubuh saya; oleh karenanya saya harus memelihara tubuh itu sebaik-baiknya sebagai alat bagi perbuatan moral. Umpama yang lain: hak milik timbul dari kenyataan, bahwa milik memungkinkan orang berusaha mendapatkan milik sendiri, tetapi juga untuk menghormati hak milik orang lain.
2.      F. W. J. Schelling
Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling (1775-1854), ia adalah seorang yang terlalu cepat menjadi dewasa. Semula ia belajar teologi di Tubingen, dimana ia berkenalan dengan Hegel. Pada waktu ia masih berumur 17 tahun ia telah menulis suatu disertasi tentang Bab 111 dari Kitab Kejadian (bagian Kitab Taurat). Pada tahun 1798, ketika ia baru berumur 23 tahun, ia telah menjabat guru besar di Jena, di mana ia sekaligus menjadi murid dan pembantu Fichte. Kemudian ia berpindah dari Universitas yang satui ke universitas yang lain (umpamanya: di Munchen, Erlangen, Berlin). Pada tahun 1854 ia meninggal dunia di Bad Ragaz.
Para ahli Perpendapat dalam pemikiran scherlling jelas ada tiga pemikiran yaitu adalah:
a)      Tahap filsafat Alam.
b)      Tahap filsata identitas.
c)      Tahap filsafat wahyu atau filsafat positif.[3]
Oleh karena itu kami akan membahas Pemikiran schelling akan tetapi Sebelum melangkah pada pemikiran Schelling lebih dalam, ada baiknya kita merunut dari pemikiran gurunya, Fichte. Sang Guru menjelaskan bahwa pengetahuan harus bertolak dari pengalaman (erfahrung). Hanya saja pengalaman yang dimaksudkan oleh Fichte itu berbeda dengan yang dimaksudkan oleh Kant. Fichte menyatakan bahwa pengalaman tersebut adalah presentasi. Ada dua macam presentasi;
a).Presentasi dengan Rasa Bebas
Misalnya saat kita membayangkan dalam imajinasi kita bahwa kita sedang jalan-jalan di kota Jakarta dengan segala gemerlap kotanya di malam hari.
b).Presentasi dengan Keniscayaan
Misalnya ketika kita sedang ada di kelas ini  mendengarkan keterang Dosen tercinta kita dalam keadaan duduk bersama teman-teman sekelas kita saat ini.Perbedaan antara dua presentasi tersebut dalam segi kemandiriannya adalah bahwa presentasi pertama tidak membutuhkan obyek dan karena itulah ia disebut bebas, sedangkan presentasi kedua tergantung pada obyek.
Dalam pengalaman (erfahrung) terdapat dua unsur yang saling terjalin dan terkait, yaitu subjek dan objek. Lantas kemudian muncullah pertanyaan: Di antara keduanya, manakah yang menghasilkan pengalaman aktual? Maka jawabannya adalah Subjek. Fichte mengunggulkan subjek atas objek karena Subjek menghasilkan pengalaman aktual.
Dari titik inilah kita akan melangkah pada pemikiran Schelling. filsafat alam Schelling bertolak dari ketidak-sepakatannya pada konsep pembedaan atau bahkan pengunggulan subjek atas objek sebagaimana diungkapkan oleh Fichte. Kata Schelling, pembedaan macam itu muncul dari refleksi yang bermula dari perasaan dan bukannya filsafat.
Perbedaan antara subjek dan objek berawal dari refleksi. Refleksi menjadikan jarak antara sesuatu yang ada di luar kita (alam) dan konsep yang kita tangkap yang terdapat dalam Idea kita (Roh). Kemudian refleksi memperlakukan konsep atau gambaran alam tersebut sebagai objek. Refleksi membangun pangkal pembedaan antara yang Riil dan yang Ideal. Jika pangkal ini dihapus, maka yang terjadi adalah kesatuan. Lebih tepatnya kesatuan antara Subjek dan Objek, antara yang Riil dan yang Ideal, antara yang Roh dan Alam. Jika kita memberikan jarak antara subjek dan objek, maka kita akan tertipu karena hal tersebut berdasarkan perasaan belaka. Yang harus kita lakukan adalah pendasaran pada filsafat hingga kemudian kita memahami bahwa yang dipikirkan dan yang memikirkan sebenarnya adalah satu (ittihad al-aqil wa al-ma`qul).
Manusia mempunyai kemampuan untuk berpikir tentang segala yang ada di Alam. Dia, dengan Roh-nya, akan bertanya sesuatu hal dan memaksa Alam untuk menjawabnya. Proses ini disebut sebagai proses dialog. Alam kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh Roh tersebut. Hal ini sebenarnya berimplikasi pada kenyataan bahwa Alam sesuai dengan tuntutan Akal (Roh). Keduanya sebenarnya satu, atau bisa dikatakan bahwa Alam adalah Roh yang tampak dan Roh adalah Alam yang Tidak Tampak dan bahwa Materi adalah kecerdasan yang tidur.
Dari situ kemudian dapat dipahami bahwa Alam bukanlah sesuatu yang sersifat mekanis yang berjalan secara otomatis begitu saja melainkan sebuah proses yang dinamis dan terpadu mengarah pada suatu tujuan tertentu  atau biasa disebut sistem teleologis. Sistem ini bisa digambarkan dengan penjelasan bahwa Alam merupakan sebuah sistem dinamis atau organisme yang hidup yang bergerak dan menuju finalitas tertentu. Kemudian dia akan kembali kepada dirinya sendiri dalam Roh Manusia dan melalui Roh manusia itu.Pandangan Schelling tentang alam. yang demikan itu dikokohkan dengan suatu teori tentang suatu yang mutlak. Ilmu pengetahuan adalah suatu totalitas dimana segala bagiannya dihubungkan secara organis dibawah satu syarat. Syarat yang asasi ini tidak dapat diturunkan dari ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi syarat itu mendahuluinya sebagai sesuatu yang tanpa syarat.
Kemudian Filsafat Identitas bermula dari penolakan atas teori ‘refleksi’ Fichte, Alam mengenal cerminannya. Melalui Refleksi ala Schelling (yang berdasarkan pendasaran filsafati dan bukannya perasaan), kini Alam telah mengenali dirinya kembali melalui Refleksi itu. Inilah yang disebut dengan identitas dan itulah ‘identitas absolut’. Kemudian lengkaplah sudah sistem ilmu pengetahuan.
Kemudian Schelling beranjak pada eksplanasi mengenai Aku-Absolut. Aku-Absolut, baginya, adalah sesuatu yang netral; bukan materi dan juga bukan spirit, bukan subjektif juga bukan objektif. Dalam tindakannya, Roh-Absolut mempunyai tiga tahap yang berjalan serentak, yaitu;
1.      Eksternalisasi, Objektivikasi dari Absolut (natura naturans) ke Alam Material (natura naturata)
2.      Internalisasi, Alam memiliki subjektivitasnya sendiri yang kemudian dipresentasikan dalam pikiran manusia
3.      Unifikasi Penyatuan antara Absolut Objektif dan Absolut Subjektif
Tiga tindakan tersebut bergerak serentak dan terlepas dari ikatan waktu. Itulah yang disebut sebagai tindakan pengetahuan.
Selanjutnya kita melangkah pada pembahasan filsafat transendental. Dalam bab ini, Schelling menjelaskan tentang bagaimana Aku atau sang Ideal merealisasikan dirinya sebagai kehendak. Aku atau Ideal menyadari akan dirinya sebagai kehendak karena suatu keharusan (sollen) yang mendahului kehendak. Oleh karena kehendak itu diarahkan pada objek yang ada di luar, maka hasil kehendak tersebutlah yang menimbulkan kemunculan dunia luar. Jika ada sesuatu yang berubah di dunia luar tersebut, karena kesatuan, maka ada perubahan juga yang terjadi dalam sang Aku.
Hukum Alam dan Hukum Moral adalah identik di dalam tertib kosmik. Selanjutnya, pernyataan inilah yang mendasari pemikiran Schelling dalam negara, hukum dan sejarah. Baginya, sejarah merupakan pernyataan berkesinambungan dari Yang Absolut yang selalu memanifestasikan diri-Nya.
Pikiran-pikiran pokokn-pokoknya ada tiga yaitu aadalah:
a)      .Empat Periode
Fisafat schelling berkemban sepanjang hidupnya, sehingga sukar untuk berbicar tentang sistem schelling. Corak berpikir schelling pada ahir hidupnya cukup berbeda dari corak berfikir” schelling yang muda”. Biasanya dibedakan empat Periode dalam pikiran schelillng: yang pertama Periode Filsafat Alam. Kedua Periode Sistem Idealistis ketiga Sinkretisme. Keemapt Periode Teosofi
b)      Edealisme Obyektif.
Filsafat Scelling dalam periode kedua merupakan semacam sintesis pikiran Spinoza dan pikiran Kant. Kant (dan kemudian Fichte) menekankan peranaan subjek dalam pengetahuan. Menurut meraka, kenyataan di luar mansia diberi strukturnya oleh subyek.itu sama sekali lain dalam filsafat Spinoza.
Menurut Spinoza memang hanya ada satu “subyek”, yaitu alam atau Allah, keseluruhan obyektif substansi yang satu-satunya. Hasil dari sintesis Kant-Spinoza dalam pikiran Schelling ialah bahwa baik  saya maupun alam (dunia obyektif) merupakan suatu “subyek”. Baik manusia maupun alam mempunyai suatu “kehendak”. Baik manusa maupun alam diciptakan dengan suatu “kebebasan” dan berkat kebebasan ini baik manusia maupun alam bisa memilih antara kebaikan dan kejahatan. Manusia dapat memilih untuk dekat Allah, atau justru untuk menjauhkan diri dari Allah. tetapi juga dalam “kehendak alam” terdapat kedua kemungkinan ini. Juga mempunyai suatu “unsur kegelapan”.  
c)      Teosofi
Dalam periode keempat, pikiran Schelling cukup berbeda dari semua periode lain. Pengaruh Kant dan Spinoza hampir tidak kelihatan lagi. Juga persahabatan antara Fichte dan Schelling dalam periode keempat sudah pecah. Dalam periode ini Schelling dipengaruhi oleh pemikir Katolik F.X. Baader (1765-1841) dan oleh Mistikus J.Bohme (1575-1624). Disini Schelling menjadi seorang filusuf nabi. Pikirannya menjadi campuran antara agama, Romantik dan ngelmu. Dan segala sesuatu menjadi agak kabur, tanpa struktur. Dia sendiri menamai corak berpikir ini: “filsafat tentang mitologi dan wahyu”, tetapi menurut orang lain filsafat ini lebih merupakan suatu “pengetahuan rahasia” tentang pertanyaan-pertanyaan terakhir, yaitu Tuhan, tujuan manusia, tujuan sejarah asal kebebasan dan kejahatan.[4]
C.  Penutup
Demikianlah kiranya dapat dilukiskan ssdikit pikian-pikiran dasar yang terdapat pada para idealis Jerman. Tetapi sistem-sistem mereka berbeda-beda karena mereka mempunyai anggapan yang berlain-lainan tentang Subyek Absolut. Fichte menentukan Subyek Absolut sebagai “Aku Abso­lut”, Schelling (sekurang-kurangnya dalam salah satu periode perkembang-annya) sebagai “identitas Absolut”, Dalam sistem Fichte terutama moralitas yang menjadi pusat pemi­kirannya, sedangkan dalam sistem Schelling mistik.
D.  Daftar Pustaka
-Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, PT Gramedia, Jakarta: 1983.
-Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kansius, Yogyakarta : 1980.

Cafer Makalah

IDEALISME I

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Barat Modern


Oleh:
Tuti Maesaroh
1110033100052
Amirul Muttaqin
111033100056


Jurusan Akidah Filsafat
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2012


[1] Harry Hamersma, tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, PT Gramedia, anggota IKAPI, Jakarta: 1983.
[2]  Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kansius, Yogyakarta: 1980.
[3] Menurut Harun Hadiwijono dalam bukunya Sari Sejarah Filsafat.
[4] [4] Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kansius, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar