A.
Pendahuluan
Suhrawardi
sebagai seorang filosof, merupakan pencetus ajaran Isyraqi (iluminasi),
di mana ajaran ini adalah sebuah pemikiran baru dalam dunia falsafah Islam,
yang berasal dari pengetahuan-pengetahuan yang Suhrawardi dapatkan. Suhrawardi
mengklaim bahwa dirinya adalah pemersatu dua cabang peradaban manusia yang
datang dari Tuhan,[1]
yaitu peradaban Persia dan Peradaban Yunani yang ternyata berasal dari
peradaban Mesir. Dalam hal ini akan dijelaskan
pada pembahasan makalah ini, yang
diawali dengan biografi, karya-karya, dan latar belakang pemikirannya, serta
pemikiran dari Suhrawardi itu sendiri.
B.
Biografi dan Karya Suhrawardi
a)
Biografi
Suhrawardi
bernama lengkap, Syaikh Syihab al-Din Abu
al-Futuh Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi, atau lebih di
kenal sebagai Suhrawardi al-Maqtul (yang berarti Terbunuh).
Sebutan al-Maqtul adalah sebagai pembeda dengan tiga tokoh yang bernama
Suhrawardi pula. Selain itu julukan al-Maqtul adalah berkaitan dengan cara kematiannya yang di
eksekusi oleh penguasa pada saat itu, Malik azh-zahir atas perintah dari
Shalahuddin al-Ayyubi, yang telah terhasut oleh para fuqaha’
yang cemburu dan merasa tersaingi olehnya – Suhrawardi,
dengan memfitnah dan menganggap
Suhrawardi sebagai penyebar ajaran sesat. Suhrawardi lahir di Suhraward, Iran
Barat Laut, dekat Zanjan pada tahun 548 H/1153 M. Selain julukan al-Maqtul,
ia juga memiliki beberapa julukan lain, yaitu Master of Illuminasionist (Bapak
Pencerahan), al-Hakim (Sang Bijak),dan al-Syahid (Sang Martir).[2]
Di usia yang
terbilang masih muda, Suhrawardi telah mengunjungi sejumlah tempat untuk
menemui sang guru dan pembimbing rohaninya. Suhrawardi pergi ke Persia,
Anatolia, Syria, dan berakhir di Aleppo.[3] Suhrawardi mulai belajar
falsafah di sebuah wilayah yaitu Maragha, di kota ini terdapat observatorium Nasr
al-Din al-Thusi, selain falsafah ia pun belajar hukum dan teologi kepada Majd
al-Din al-Jili, murid lain al-Jili adalah Fakhr al-Din Razi yang
juga merupakan teman sekelas Suhrawardi. Setelah berguru kepada al-Jili,
Suhrawardi kemudian berguru kepada Fakhr al-Din al-Mardani, yang
merupakan pengajar falfafah terpenting bagi Suhrawardi.Setelah itu, Suhrawardi
juga berguru kepada Zhahir al- Din al-Qari al-Farsi.
b)
Karyanya-karyanya
Karya-karyanya begitu banyak tidak kurang dari 50 karya yang telah ia tulis, baik dari karya
falsafah maupun ginostik dalam bahasa Arab dan Persia. Sayyed Hosein Nasr telah
mengelompokkannya kedalam lima bagian, yaitu:[4]
1.
Ada empat buku yang berisi pengajaran dan kaidah teosofi yang
merupakan penafsiran dan modifikasi terhadap falsafah peripatetis, yaitu Talwihat
(The Book of Intiminations), Maqawamat (The Book of Oppositions), Mutharahat
(The Book of Conversations), dan Hikmah al-Isyraq (The Theosophy of the
Orient of Light). Hikmah al-Isyraq merupakan karya pamungkasnya, yang
pembahasannya bertitik tekan pada Cahaya Tuhan setelah sebelumnya mengkritik
falsafah peripatetik.
2.
Karangan pendek tentang falsafah, ditulis dalam bahasa Arab dan
Persia dengan gaya bahasa yang disederhanakan, yaitu Hayakil al-Nur (The
Tamples of Light), al-Alwah al-‘Imadiyah (Tablets Dedicated to ‘Imad al-Din),
Partaw-namah (Treatise on Illumination), Fi I’tiqad al-Hukama (Symbol of Faith
of the Philosophers), al-Lamahat (The Flashes of Light), Yazdan Syinakht (The Knowledge
of God), dan Bustan al-Qulub (The Garden of Heart).
3.
Karya yang bermuatan dan berlambang mistis, yang pada umumnya
ditulis dalam bahasa Persia, yaitu ‘Aql-I Surkh (The Red Archangel atau
Literally Intelect), Awaz-I Par-I Jibra’il (The Chant of The Wing of Gabriel),
al-Ghurbat al-Ghurbiyah (The Occidental Exile), Lughat-I Muran (The Language of
Termites), Risalah fi Halat al-Thifuliyah (Treatise on The State of Childhood),
Ruzi ba Jama’ at-i Shufiyan (A Day With The Community of Sufis), Risalah fi al-Mi’raj
(Treatise on The Nocturnal Journey), dan Syafir-I Simurgh (The Song of
the Griffin).
4.
Komentar dan terjemahan dari falsafah terdahulu dan ajaran-ajaran
keagamaan, seperti Risalah al-Thair (The Treatise of the Birds) karya
Ibn Sina diterjemahkan kedalam bahasa Persia; komentar terhadap kitab Isyarat
karya Ibn Sina; serta tulisan dalam Risalah
fi Haqiqat al-‘Isyqi, yang terpusat pada risalah Ibn Sina fi al-Isyqi serta
sejumlah tafsir al-Qur’an dan Hadis Nabi.
5.
Doa-doa, yang lebih dikenal dengan al-Waridat wa al-Taqdisat (Doa
dan Penyucian).
c)
Latar Belakang pemikirannya
Pemikiran Isyraqi dari
Suhrawardi memiliki sumber yang beragam, tidak hanya Islam tetapi non-Islam
juga turut mewakili pemikiran dari Suhrawardi. Menurut Sayyed Hosein Nasr
pemikiran Suhrawardi bersumber pada:[5]
1.
Pemikiran sufisme terpengaruhi oleh karya-karya al-Hallaj (858-913
M) dan al-Ghazali (1058-1111 M). Namun yang paling berpengaruh adalah karya
al-Ghazali, Misykat al-Anwar, yang menjelaskan adanya hubungan antara nur
(cahaya) dengan iman, mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran iluminasi
Suhrawardi tentang cahaya.
2.
Pemikiran filsafat peripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina,
meskipun Suhrwardi mengkritik sebagiannya tetapi memandangnya sebagai azas
penting dalam memahami keyakinan-keyakinan Isyraqi
3.
Pemikiran filsafat sebelum Islam, yakni aliran Pyithagoras (580-500
SM), Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexandria, yang
kemudian di sebarkan oleh kaum Syabiah Harran di Timur Dekat, yang memandang
kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka.
4.
Pemikiran-pemikiran (Hikmah) Iran Kuno. Disini Suhrawardi
mencoba membangkitkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan memandang para
pemikir Iran-Kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya
bencana taufan yang menimpa kaum Nabi Idris (Hermes).
5.
Bersandar pada ajaran Zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang
cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat, yang kemudian di tambah
dengan istilah-istilah sendiri. Namun demikian, Suhrawrdi menyatakan bahwa
dirinya bukanlah penganut ajaran dualisme dan tidak menuduh mazhab Zahiriyah
sebagai pengikut Zoroaster. Sebaliknya, ia mengklaim dirinya sebagai jamaah hukama
Iran, pemilik keyakinan-keyakinan ‘kebatinan’ yang berdasarkan prinsip kesatuan
ketuhanan dan pemilik sunnah yang tersembunyi di lubuk masyarakat Zoroaster.
Penjelasan Sayyed Hosein Nasr
tersebut cukup menjelaskan sumber-sumber pemikiran dari Suhrawardi, namun yang
paling penting adalah ia mengklaim dirinya sebagai pemersatu antara apa yang di
sebut hikmah laduniyah (genius) dan hikmah al-Atiqah (antik).[6]Selain itu, Suhrawardi juga
menganggap bahwa dirinya sebagai pusat pertemuan dua cabang hikmah dunia.
Menurutnya, bahwa hikmah diturunkan Tuhan kepada manusia melalui nabi Idris
(Hermes), yang kemudian hikmah ini terbagi pada dua cabang: satunya di
Persiadan satunya lagi di Mesir yang dari Mesir ini kemudian melebar ke Yunani,
selanjutnya dua cabang ini bertemu kembali membentuk peradaban Islam.[7] Secara ringkas,
perpindahan dan silsilah ahli hikmah serta posisi Suhrawardi digambarkan sebagai
berikut:[8]
Hermes (Idris)
Agathademon
(Syis)
Isqalpius Raja
Pendeta Iran Kuno
Phythagoras Kuyumarts
Anbdzeclus Faridon
Plato (Neo-Platonisme) Kaykhasru
Zunun
al-Misri (798-861 M) Yazid
Busthami (w. 877 M)
Abu
Sahl Tustari (815-896 M) Mansur
al-Hallaj (w. 913 M)
Hasan Karqani (w. 1033
M)
Suhrawardi
C.
Pemikirannya
a)
Metafisika dan Cahaya
Dalam falsafahnya, Suhrawardi banyak
menggunakan istilah-istilah yang berbeda dengan para filosof lainnya, ia menggunakan
istilah-istilah yang berbeda pengetiannya dari
biasa dipahami oleh
orang banyak. Seperti Timur (Masyriq) dan Barat (Maghrib),
istilah ini tidak berhubungan dengan letak geografis, melainkan berlandaskan
pada penglihatan horizontal yang memanjang dari Timur ke Barat.Makna Timur
diartikan sebagai Dunia Cahaya atau Dunia Malaikat yang bebas dari kegelapan
dan materi, sedangkan Barat adalah Dunia Kegelapan atau materi. Barat Tengah
adalah langit-langit yang menampakkan
pembauran antara cahaya dengan sedikit kegelapan.
Inti ajaran falsafah illuminasinya (Isyraqi)
adalah cahaya, dari sifat dan penyebaran cahaya. Tuhan adalah Cahaya yang ia
sebut sebagai Nur al-Anwar. Cahaya sebagai penggerak utama alam semesta,
sedangkan alam semesta merupakan sebuah proses penyinaran raksasa, di mana semua wujud bermula dan
berasal dari Prinsip Utama Yang Esa (Tunggal).[9] Cahaya ini adalah sumber
segala sumber, dan tak ada yang bisa menyamakan kedudukan Cahaya ini, Cahaya
merupakan esensi yang paling terang dan paling nyata, sehingga mustahil bila
ada sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas dari cahaya. Pendapat ini sama
dengan pemikiran Ibn Sina tentang Wajib
al-Wujud. Suhrawardi juga berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat diliputi
aksiden (‘ardh) ataupun substansi (jauhar), karena dapat
mengurangi Keesaan Tuhan.Maka dari itu, Cahaya Pertama mesti Satu (Esa,
Tunggal), baik dzat maupun sifat-Nya.[10]
Selain dari itu. salah satu ajaran Isyraqi adalah gradasi esensi, dan ajaran
penting lainnya adalah teori kognisi yang menekankan adanya kesadaran diri
untuk meraih persamaan dan kesatuan antara pikiran dan realitas. Dari teori
gradasi esensi dan teori kognisi, lahirlah teori alam mitsal di mana
struktur ontologis dari realitas spiritual atau “alam atas” dianggap mempunyai
kemiripan atau mengambil bentuk-bentuk gambar konkret dari alam materi atau
“alam bawah”. Bagi Suhrawardi, apa yang di sebut eksistensi hanya ada
dalam pikiran, gagasan umum dan konsep
sekunder yang tidak terdapat dalam realitas, sedang realitas yang sesungguhnya
hanyalah esensi-esensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya.
Cahaya-cahaya ini nyata dengan dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti
kegelapan dan tidak dikenali, maka dari itu cahaya tidak membutuhkan definisi. Sebagai realitas segala sesuatu cahaya menembus setiap
susunan entitas, fisik maupun non-fisik sebagai komponen essensial dari cahaya.
Cahaya memiliki tingkat intensitas penampakannya, tergantung pada tingkat
kedekatannya dengan Cahaya segala cahaya (Nur al-Anwar). Semakin dekat dengan Nur al-Anwar yang merupakan cahaya yang
paling sempurna maka akan semakin sempurnalah cahaya tersebut begitupun
sebaliknya. Begitu pula yang terjadi pada wujud-wujud.[11]
Ketiga pemikiran utama dari
Suhrawardi adalah:[12]
1.
Cahaya,
disini cahaya dibagi dua; pertama, cahaya dalam realitas dirinya dan
untuk dirinya. Cahaya ini merupakan bentuk asli, paling murni dan tidak
tercampur unsur kegelapan sedikitpun, cahaya yang paling mandiri. Kedua, cahaya
dalam dirinya sendiri tapi untuk sesuatu yang lain. Cahaya ini bersifat
aksidental dan terkandung di dalam sesuatu yang lain. Cahaya yang tercampur
dengan unsur kegelapan.
2.
Kegelapan,
kegelapan pun di bagi dua; pertama, kegelapan murni disebut substansi
kabur (al-Jauhar al-Ghasiq). Kedua, kegelapan yang terdapat di
dalam sesuatu yang lain, sudah terkontaminasi.
3.
Barzakh (ishmus),
yaitu pembatas, penyekat antara cahaya yang ada diatasnya dan cahaya yang ada
dibawahnya. Perantara, penghubung antara yang nyata dengan yang gaib.
Penghubung gelap dan terang, bentuk asli dari barzakh sendiri adalah
gelap. Barzakh diumpamakan sebagai kaca riben.
b)
Epistemology
Dalam epistemologinya, Suhrawardi
membahas secara panjang lebar masalah pengetahuan, namun pada akhirnya
mendasarkannya pada iluminasi dan mengusulkan satu teori visi. Ia menganggap
cara nalar dan cara intuisi sebagai pasangan yang saling melengkapi, karena
nalar tanpa intuisi dan iluminasi tidak akan pernah bisa mencapai sumber
transenden dari segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa
penyiapan logika serta latihan dan pengembangan kemampuan rasional bisa
tersesat dan tidak akan dapat mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis.[13]
Menurut Suhrawardi, jika kita hendak
dapat mendalami secara lengkap sisi intelektual murni falsafah transcendental,
maka harus memahami secara mendalam filsafat Aristoteles, Logika, Matematika
dan Sufisme. Kita harus membebaskan sepenuhnya pikiran kita dari prasangka dan
dosa, sehingga pikiran kita secara bertahap mampu mengembangkan indera batin kita, yang mampu
mengoreksi apa yang dimengerti oleh pikiran hanya sebagai teori. Ciri yang
paling nampak dalam falsafah Isyraqi Suhrawardi adalah bahwa akal tanpa bantuan
Dzauq maka tidak dapat dipercaya, karena Dzauq berfungsi sebagai
penyerap misterius atas segala esensi dan membuang skeptisisme.Namun pengalaman
spiritual itu pun perlu dirumuskan dan disistematisasikan oleh pikiran yang
logis. Jadi setiap bentuk dari pengetahuan, akan bertujuan akhir pada iluminasi
dan ma’rifat (gnosis), yang ditempatkan oleh Suhrawardi pada puncak hierarki
pengetahuan.[14]
c)
Kosmologi
Dalam pandangannya tentang kosmologi,
Suhrawardi mengembangkan prinsip emanasi menjadi teori pancaran (iluminasi, isyraqi).
Menurutnya, pancaran cahaya bersumber dari sumber pertama yang ia sebut Nur
al-Anwar. Pancaran dari sumber pertama akan berjalan terus sepanjang
sumbernya tetap eksis. Konsekuensinya alam semesta akan selalu ada selama Tuhan
ada. Namun menurut Suhrawardi, Tuhan sangat berbeda dengan alam.Ia
mengumpamakan hubungan antara lampu dan sinarnya, lampu sebagai sumber cahaya
jelas berbeda dengan sinar yang dihasilkannya.[15]
Dalam teori emanasinya, Suhrawardi membaginya
menjadi dua, yaitu:[16]
1.
Adanya emanasi dari masing-masing cahaya yang berada di bawah Nur
al-Anwar. Cahaya-cahaya ini benar-benar ada dan diperoleh (yahshul)
namun berbeda pada tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan.
Cahaya-cahaya itu bercirikan: (a) ada sebagai cahaya abstrak, (b) mempunyai
gerak ganda, mencintai (yuhibbuh) serta melihat (yusyahiduh) yang
di atasnya dan mengendalikan (yaqharu) serta menyinari (asyraqah)
apa yang ada di bawahnya. (c) mempunyai atau mengambil “sandaran” di mana
sandaran ini mengimplikasaikan sesuatu, seperti “zat” yang disebut barzah,
dan mempunyai “kondisi” (hay’ah); zat dan kondisi ini sama-sama berperan
sebagai “wadah” bagi cahaya. (d) mempunyai sesuatu semisal “kualitas” atau
sifat, yakni “kaya” (ghani) dalam hubungannya dengan cahaya di bawahnya
dan “miskin” (fakir) dalam kaitannya dengan cahaya di atas. Ketika
cahaya pertama melihat Nur al-Anwar dengan berlandaskan dengan cinta dan
kesamaan, ia memperoleh cahaya abstrak yang lain. Sebaliknya ketika cahaya
perrtama melihat kemiskinannya, ia memperoleh “zat” dan “kondisi”nya sendiri.
proses ini terus berlanjut, sehingga menjadi bola dan dunia dasar (elemental
world).
2.
Proses ganda iluminasi dan visi (penglihatan).
Ketika cahaya pertama muncul, ia mempunyai visi langsung pada Nur al-Anwar
tanpa durasi dan pada “momen” tersendiri Nur al-Anwar menyinarinya
sehingga “menyalakan” cahaya kedua dan zat serta kondisi yang dihubungkan
dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini pada prosesnya menerima tiga cahaya,
dari Nur al-Anwar secara langsung, dari cahaya pertama dan Nur
al-Anwar yang tembus lewat cahaya pertama. Proses ini terus berlanjut dengan jumlah cahaya meningkat sesuai
dengan urutan 2n-1 dari cahaya pertama.
Lebih lanjut lagi mengenai konsep
kosmologi Suhrawardi, ia membagi alam kepada empat tingkatan, yaitu:[17]
1.
Alam cahaya dominator (‘alam al-anwar al-qahirah), yaitu
alam cahaya-cahaya mujarradad al-‘aqliyyah yang terbebas dari bentuk
sama sekali, mereka adalah pasukan Allah dan para malaikat yang dekat dengan
Allah serta para hamba yang ikhlas (mukhlish)
2.
Alam cahaya-cahaya pengatur (‘alam al-anwar al-mudabbirah
al-isfahbadiyyah al-falakiyah wa al-insaniyyah)
3.
Alam bentuk (‘alam al-ajsam) yang terdiri atas dua alam
barzakh (barzakhiyyani), yaitu alam materi (alam indrawi, ‘alam
al-hissi) salah satunya adalah alam barzakh falak-falak (barzakhiyyah
al-falak) yang di dalamnya terdapat bintang-bintang (al-kawakib) sedangkan
yang lainnya adalah alam barzakh anasir-anasir yang di dalamnya terdapat
unsure-unsur gabungan (al-murakkabat)
4.
Alam citra dan alam imajiner (‘alam al-mitsal wa al-khayal)
atau disebut juga alam bayangan murni. Di dalam alam ini akan terlihat bagaimana
jasad dibangkitkan kembali dan segala yang pernah dijanjikan melalui risalah
kenabian.
Begitulah pembagian ataupun
pengelompokan alam menurut Suhrawardi. Namun semua fenomena alam yaitu hujan,
awan, halilintar, meteor, guntur, adalah berbagai kerja dari prinsip imanen
gerak ini, dan diterangkan oleh operasi langsung dan tidak langsung Cahaya
Pertama atas segala sesuatu, yang satu sama lainnya berbeda dalam kapasitas
penerimaan banyak-sedikitnya penerangan. Singkatnya, Alam Semesta ialah suatu
hasrat yang membawa suatu kristalisasi kerinduan kepada cahaya.[18]
- Kesimpulan
Jadi bisa kami
simpukan bahwa adanya emanasi dari masing-masing cahaya yang berada di bawah Nur
al-Anwar. Pendapat Suhrawardi adalah Cahaya-cahaya ini benar-benar ada dan
diperoleh (yahshul) namun berbeda pada tingkat intensitasnya yang
menjadi ukuran kesempurnaan. Cahaya-cahaya itu bercirikan yaitu:
Pertama ada sebagai
cahaya abstrak,
kedua mempunyai gerak ganda, mencintai (yuhibbuh) serta melihat (yusyahiduh)
yang di atasnya dan mengendalikan (yaqharu) serta menyinari (asyraqah)
apa yang ada di bawahnya.
Ketiga mempunyai atau
mengambil “sandaran” di mana sandaran ini mengimplikasaikan sesuatu, seperti
“zat” yang disebut barzah, dan mempunyai “kondisi” (hay’ah); zat
dan kondisi ini sama-sama berperan sebagai “wadah” bagi cahaya.
Keempat mempunyai
sesuatu semisal “kualitas” atau sifat, yakni “kaya” (ghani) dalam
hubungannya dengan cahaya di bawahnya dan “miskin” (fakir) dalam
kaitannya dengan cahaya di atas. Ketika cahaya pertama melihat Nur al-Anwar
dengan berlandaskan dengan cinta dan kesamaan, ia memperoleh cahaya abstrak
yang lain. Sebaliknya ketika cahaya perrtama melihat kemiskinannya, ia
memperoleh “zat” dan “kondisi”nya sendiri. proses ini terus berlanjut, sehingga
menjadi bola dan dunia dasar (elemental world).
- Penutup
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa inti pemikiran falsafah Suhrawardi adalah pancaran cahaya
(iluminasi, isyraqi). Alam semesta ini merupakan pancaran dari Cahaya
Yang Utama (Tuhan), hanya saja setiap yang tercipta dapat dibedakan dari
intensitas cahaya yang mereka terima. Semakin dekat sesuatu dengan cahaya yang
menciptanya yaitu cahaya yang paling sempurna, maka semakin sempurnalah sesuatu
itu, dan hal itu hanya dapat dipertemukan dengan cara dzauq yang hanya
dipahami oleh orang-orang yang telah mengerti tasawuf.
Selain itu, iluminasi dalam tasawuf
juga merupakan suatu garis perjalanan vertikal seorang hamba yang ingin lebih
dekat dengan Tuhannya, tak hanya jalan vertikal, melainkan juga suatu perjalanan
horizontal seorang hamba (manusia) dalam mencari keberkahan melalui hubungannya
dengan hamba-hamba atau pun makhluk hidup lainnya, sebagai bentuk cinta kasih
seorang hamba kepada Tuhannya.
- DAFTAR PUSTAKA
Ø Drajat,
Amroeni, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS,
2005.
Ø Nasution,
Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
[1] Amroeni Drajat, Suhrawardi:
Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 40
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm. 143
[3] Amroeni Drajat, Suhrawardi:
Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 30
[4] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm. 144-145
[5] A. Khudori Soleh, Wacana
Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 120-121
[6] A. Khudori Soleh, Wacana
Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 121
[7] A. Khudori Soleh, Ibid,
hlm. 122
[8]A. Khudori Soleh, Ibid,
hlm. 123
[9] Amroeni Drajat, Suhrawardi:
Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 223
[10]Amroeni Drajat, Ibid,
hlm. 224
[11] A. Khudori Soleh, Ibid,
hlm. 123-124
[12] Amroeni Drajat, Suhrawardi:
Kritik Falsafah Peripatetik, hlm. 231-232
[13] Hasyimsyah Nasution, Ibid,
hlm. 154
[14] Hasyimsyah Nasution, Ibid,
hlm. 154
[15] Amroeni Drajat, Ibid,
hlm.243-244
[16] A. Khudori Soleh, Ibid,
hlm. 125-126
[17] Amroeni Drajat, Ibid,
hlm. 248
[18] Hasyimsyah Nasution, Ibid,
hlm. 160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar