Jumat, 11 Januari 2013

Filsafat Suhrawardi



A.    Pendahuluan
Suhrawardi sebagai seorang filosof, merupakan pencetus ajaran Isyraqi (iluminasi), di mana ajaran ini adalah sebuah pemikiran baru dalam dunia falsafah Islam, yang berasal dari pengetahuan-pengetahuan yang Suhrawardi dapatkan. Suhrawardi mengklaim bahwa dirinya adalah pemersatu dua cabang peradaban manusia yang datang dari Tuhan,[1] yaitu peradaban Persia dan Peradaban Yunani yang ternyata berasal dari peradaban Mesir. Dalam hal ini akan dijelaskan pada pembahasan makalah ini, yang diawali dengan biografi, karya-karya, dan latar belakang pemikirannya, serta pemikiran dari Suhrawardi itu sendiri.
B.     Biografi dan Karya Suhrawardi
a)      Biografi
Suhrawardi bernama lengkap, Syaikh Syihab al-Din Abu  al-Futuh Yahya ibn Habasy ibn Amirak al-Suhrawardi, atau lebih di kenal sebagai Suhrawardi al-Maqtul (yang berarti Terbunuh). Sebutan al-Maqtul adalah sebagai pembeda dengan tiga tokoh yang bernama Suhrawardi pula. Selain itu julukan al-Maqtul adalah  berkaitan dengan cara kematiannya yang di eksekusi oleh penguasa pada saat itu, Malik azh-zahir atas perintah dari Shalahuddin al-Ayyubi, yang telah terhasut oleh para fuqaha yang cemburu dan merasa tersaingi olehnya – Suhrawardi, dengan memfitnah dan menganggap Suhrawardi sebagai penyebar ajaran sesat. Suhrawardi lahir di Suhraward, Iran Barat Laut, dekat Zanjan pada tahun 548 H/1153 M. Selain julukan al-Maqtul, ia juga memiliki beberapa julukan lain, yaitu Master of Illuminasionist (Bapak Pencerahan), al-Hakim (Sang Bijak),dan al-Syahid (Sang Martir).[2]
Di usia yang terbilang masih muda, Suhrawardi telah mengunjungi sejumlah tempat untuk menemui sang guru dan pembimbing rohaninya. Suhrawardi pergi ke Persia, Anatolia, Syria, dan berakhir di Aleppo.[3] Suhrawardi mulai belajar falsafah di sebuah wilayah yaitu Maragha, di kota ini terdapat observatorium Nasr al-Din al-Thusi, selain falsafah ia pun belajar hukum dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili, murid lain al-Jili adalah Fakhr al-Din Razi yang juga merupakan teman sekelas Suhrawardi. Setelah berguru kepada al-Jili, Suhrawardi kemudian berguru kepada Fakhr al-Din al-Mardani, yang merupakan pengajar falfafah terpenting bagi Suhrawardi.Setelah itu, Suhrawardi juga berguru kepada Zhahir al- Din al-Qari al-Farsi.
b)     Karyanya-karyanya
Karya-karyanya begitu banyak tidak kurang dari 50 karya yang telah ia tulis, baik dari karya falsafah maupun ginostik dalam bahasa Arab dan Persia. Sayyed Hosein Nasr telah mengelompokkannya kedalam lima bagian, yaitu:[4]
1.      Ada empat buku yang berisi pengajaran dan kaidah teosofi yang merupakan penafsiran dan modifikasi terhadap falsafah peripatetis, yaitu Talwihat (The Book of Intiminations), Maqawamat (The Book of Oppositions), Mutharahat (The Book of Conversations), dan Hikmah al-Isyraq (The Theosophy of the Orient of Light). Hikmah al-Isyraq merupakan karya pamungkasnya, yang pembahasannya bertitik tekan pada Cahaya Tuhan setelah sebelumnya mengkritik falsafah peripatetik.
2.      Karangan pendek tentang falsafah, ditulis dalam bahasa Arab dan Persia dengan gaya bahasa yang disederhanakan, yaitu Hayakil al-Nur (The Tamples of Light), al-Alwah al-‘Imadiyah (Tablets Dedicated to ‘Imad al-Din), Partaw-namah (Treatise on Illumination), Fi I’tiqad al-Hukama (Symbol of Faith of the Philosophers), al-Lamahat (The Flashes of Light), Yazdan Syinakht (The Knowledge of God), dan Bustan al-Qulub (The Garden of Heart).
3.      Karya yang bermuatan dan berlambang mistis, yang pada umumnya ditulis dalam bahasa Persia, yaitu ‘Aql-I Surkh (The Red Archangel atau Literally Intelect), Awaz-I Par-I Jibra’il (The Chant of The Wing of Gabriel), al-Ghurbat al-Ghurbiyah (The Occidental Exile), Lughat-I Muran (The Language of Termites), Risalah fi Halat al-Thifuliyah (Treatise on The State of Childhood), Ruzi ba Jama’ at-i Shufiyan (A Day With The Community of Sufis), Risalah fi al-Mi’raj (Treatise on The Nocturnal Journey), dan Syafir-I Simurgh (The Song of the Griffin).
4.      Komentar dan terjemahan dari falsafah terdahulu dan ajaran-ajaran keagamaan, seperti Risalah al-Thair (The Treatise of the Birds) karya Ibn Sina diterjemahkan kedalam bahasa Persia; komentar terhadap kitab Isyarat karya Ibn Sina; serta tulisan dalam  Risalah fi Haqiqat al-‘Isyqi, yang terpusat pada risalah Ibn Sina fi al-Isyqi serta sejumlah tafsir al-Qur’an dan Hadis Nabi.
5.      Doa-doa, yang lebih dikenal dengan al-Waridat wa al-Taqdisat (Doa dan Penyucian).
c)      Latar Belakang pemikirannya
Pemikiran Isyraqi dari Suhrawardi memiliki sumber yang beragam, tidak hanya Islam tetapi non-Islam juga turut mewakili pemikiran dari Suhrawardi. Menurut Sayyed Hosein Nasr pemikiran Suhrawardi bersumber pada:[5]
1.      Pemikiran sufisme terpengaruhi oleh karya-karya al-Hallaj (858-913 M) dan al-Ghazali (1058-1111 M). Namun yang paling berpengaruh adalah karya al-Ghazali, Misykat al-Anwar, yang menjelaskan adanya hubungan antara nur (cahaya) dengan iman, mempunyai pengaruh langsung pada pemikiran iluminasi Suhrawardi tentang cahaya.
2.      Pemikiran filsafat peripatetik Islam, khususnya filsafat Ibn Sina, meskipun Suhrwardi mengkritik sebagiannya tetapi memandangnya sebagai azas penting dalam memahami keyakinan-keyakinan Isyraqi
3.      Pemikiran filsafat sebelum Islam, yakni aliran Pyithagoras (580-500 SM), Platonisme dan Hermenisme sebagaimana yang tumbuh di Alexandria, yang kemudian di sebarkan oleh kaum Syabiah Harran di Timur Dekat, yang memandang kumpulan aliran Hermes sebagai kitab samawi mereka.
4.      Pemikiran-pemikiran (Hikmah) Iran Kuno. Disini Suhrawardi mencoba membangkitkan keyakinan-keyakinannya secara baru dan memandang para pemikir Iran-Kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum datangnya bencana taufan yang menimpa kaum Nabi Idris (Hermes).
5.      Bersandar pada ajaran Zoroaster dalam menggunakan lambang-lambang cahaya dan kegelapan, khususnya dalam ilmu malaikat, yang kemudian di tambah dengan istilah-istilah sendiri. Namun demikian, Suhrawrdi menyatakan bahwa dirinya bukanlah penganut ajaran dualisme dan tidak menuduh mazhab Zahiriyah sebagai pengikut Zoroaster. Sebaliknya, ia mengklaim dirinya sebagai jamaah hukama Iran, pemilik keyakinan-keyakinan ‘kebatinan’ yang berdasarkan prinsip kesatuan ketuhanan dan pemilik sunnah yang tersembunyi di lubuk masyarakat Zoroaster.
Penjelasan Sayyed Hosein Nasr tersebut cukup menjelaskan sumber-sumber pemikiran dari Suhrawardi, namun yang paling penting adalah ia mengklaim dirinya sebagai pemersatu antara apa yang di sebut hikmah laduniyah (genius) dan hikmah al-Atiqah (antik).[6]Selain itu, Suhrawardi juga menganggap bahwa dirinya sebagai pusat pertemuan dua cabang hikmah dunia. Menurutnya, bahwa hikmah diturunkan Tuhan kepada manusia melalui nabi Idris (Hermes), yang kemudian hikmah ini terbagi pada dua cabang: satunya di Persiadan satunya lagi di Mesir yang dari Mesir ini kemudian melebar ke Yunani, selanjutnya dua cabang ini bertemu kembali membentuk peradaban Islam.[7] Secara ringkas, perpindahan dan silsilah ahli hikmah serta posisi Suhrawardi digambarkan sebagai berikut:[8]
Hermes (Idris)
Agathademon (Syis)

                        Isqalpius                                                                      Raja Pendeta Iran Kuno
                        Phythagoras                                                                Kuyumarts
                        Anbdzeclus                                                                 Faridon
                        Plato  (Neo-Platonisme)                                              Kaykhasru
                        Zunun al-Misri (798-861 M)                                       Yazid Busthami (w. 877 M)
                        Abu Sahl Tustari (815-896 M)                                    Mansur al-Hallaj (w. 913 M)
                                                                                                            Hasan Karqani (w. 1033 M)
                                                                        Suhrawardi
C.    Pemikirannya
a)      Metafisika dan Cahaya
Dalam falsafahnya, Suhrawardi banyak menggunakan istilah-istilah yang berbeda dengan para filosof lainnya, ia menggunakan istilah-istilah yang berbeda pengetiannya dari  biasa dipahami oleh orang banyak. Seperti Timur (Masyriq) dan Barat (Maghrib), istilah ini tidak berhubungan dengan letak geografis, melainkan berlandaskan pada penglihatan horizontal yang memanjang dari Timur ke Barat.Makna Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya atau Dunia Malaikat yang bebas dari kegelapan dan materi, sedangkan Barat adalah Dunia Kegelapan atau materi. Barat Tengah adalah  langit-langit yang menampakkan pembauran antara cahaya dengan sedikit kegelapan.
Inti ajaran falsafah illuminasinya (Isyraqi) adalah cahaya, dari sifat dan penyebaran cahaya. Tuhan adalah Cahaya yang ia sebut sebagai Nur al-Anwar. Cahaya sebagai penggerak utama alam semesta, sedangkan alam semesta merupakan sebuah proses penyinaran  raksasa, di mana semua wujud bermula dan berasal dari Prinsip Utama Yang Esa (Tunggal).[9] Cahaya ini adalah sumber segala sumber, dan tak ada yang bisa menyamakan kedudukan Cahaya ini, Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan paling nyata, sehingga mustahil bila ada sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas dari cahaya. Pendapat ini sama dengan pemikiran  Ibn Sina tentang Wajib al-Wujud. Suhrawardi juga berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat diliputi aksiden (‘ardh) ataupun substansi (jauhar), karena dapat mengurangi Keesaan Tuhan.Maka dari itu, Cahaya Pertama mesti Satu (Esa, Tunggal), baik dzat maupun sifat-Nya.[10]
Selain dari itu. salah satu ajaran Isyraqi adalah gradasi esensi, dan ajaran penting lainnya adalah teori kognisi yang menekankan adanya kesadaran diri untuk meraih persamaan dan kesatuan antara pikiran dan realitas. Dari teori gradasi esensi dan teori kognisi, lahirlah teori alam mitsal di mana struktur ontologis dari realitas spiritual atau “alam atas” dianggap mempunyai kemiripan atau mengambil bentuk-bentuk gambar konkret dari alam materi atau “alam bawah”. Bagi Suhrawardi, apa yang di sebut eksistensi hanya ada dalam  pikiran, gagasan umum dan konsep sekunder yang tidak terdapat dalam realitas, sedang realitas yang sesungguhnya hanyalah esensi-esensi yang tidak lain merupakan bentuk-bentuk cahaya. Cahaya-cahaya ini nyata dengan dirinya sendiri karena ketiadaannya berarti kegelapan dan tidak dikenali, maka dari itu cahaya tidak membutuhkan definisi. Sebagai realitas segala sesuatu cahaya menembus setiap susunan entitas, fisik maupun non-fisik sebagai komponen essensial dari cahaya. Cahaya memiliki tingkat intensitas penampakannya, tergantung pada tingkat kedekatannya dengan Cahaya segala cahaya (Nur al-Anwar). Semakin dekat dengan Nur al-Anwar yang merupakan cahaya yang paling sempurna maka akan semakin sempurnalah cahaya tersebut begitupun sebaliknya. Begitu pula yang terjadi pada wujud-wujud.[11]
Ketiga pemikiran utama dari Suhrawardi adalah:[12]
1.      Cahaya, disini cahaya dibagi dua; pertama, cahaya dalam realitas dirinya dan untuk dirinya. Cahaya ini merupakan bentuk asli, paling murni dan tidak tercampur unsur kegelapan sedikitpun, cahaya yang paling mandiri. Kedua, cahaya dalam dirinya sendiri tapi untuk sesuatu yang lain. Cahaya ini bersifat aksidental dan terkandung di dalam sesuatu yang lain. Cahaya yang tercampur dengan unsur kegelapan.
2.      Kegelapan, kegelapan pun di bagi dua; pertama, kegelapan murni disebut substansi kabur (al-Jauhar al-Ghasiq). Kedua, kegelapan yang terdapat di dalam sesuatu yang lain, sudah terkontaminasi.
3.      Barzakh (ishmus), yaitu pembatas, penyekat antara cahaya yang ada diatasnya dan cahaya yang ada dibawahnya. Perantara, penghubung antara yang nyata dengan yang gaib. Penghubung gelap dan terang, bentuk asli dari barzakh sendiri adalah gelap. Barzakh diumpamakan sebagai kaca riben.
b)     Epistemology
Dalam epistemologinya, Suhrawardi membahas secara panjang lebar masalah pengetahuan, namun pada akhirnya mendasarkannya pada iluminasi dan mengusulkan satu teori visi. Ia menganggap cara nalar dan cara intuisi sebagai pasangan yang saling melengkapi, karena nalar tanpa intuisi dan iluminasi tidak akan pernah bisa mencapai sumber transenden dari segala kebenaran dan penalaran. Sedangkan intuisi tanpa penyiapan logika serta latihan dan pengembangan kemampuan rasional bisa tersesat dan tidak akan dapat mengungkapkan dirinya secara ringkas dan metodis.[13]
Menurut Suhrawardi, jika kita hendak dapat mendalami secara lengkap sisi intelektual murni falsafah transcendental, maka harus memahami secara mendalam filsafat Aristoteles, Logika, Matematika dan Sufisme. Kita harus membebaskan sepenuhnya pikiran kita dari prasangka dan dosa, sehingga pikiran kita secara bertahap mampu  mengembangkan indera batin kita, yang mampu mengoreksi apa yang dimengerti oleh pikiran hanya sebagai teori. Ciri yang paling nampak dalam falsafah Isyraqi Suhrawardi adalah bahwa akal tanpa bantuan Dzauq maka tidak dapat dipercaya, karena Dzauq berfungsi sebagai penyerap misterius atas segala esensi dan membuang skeptisisme.Namun pengalaman spiritual itu pun perlu dirumuskan dan disistematisasikan oleh pikiran yang logis. Jadi setiap bentuk dari pengetahuan, akan bertujuan akhir pada iluminasi dan ma’rifat (gnosis), yang ditempatkan oleh Suhrawardi pada puncak hierarki pengetahuan.[14]
c)      Kosmologi
Dalam pandangannya tentang kosmologi, Suhrawardi mengembangkan prinsip emanasi menjadi teori pancaran (iluminasi, isyraqi). Menurutnya, pancaran cahaya bersumber dari sumber pertama yang ia sebut Nur al-Anwar. Pancaran dari sumber pertama akan berjalan terus sepanjang sumbernya tetap eksis. Konsekuensinya alam semesta akan selalu ada selama Tuhan ada. Namun menurut Suhrawardi, Tuhan sangat berbeda dengan alam.Ia mengumpamakan hubungan antara lampu dan sinarnya, lampu sebagai sumber cahaya jelas berbeda dengan sinar yang dihasilkannya.[15]
Dalam teori emanasinya, Suhrawardi membaginya menjadi dua, yaitu:[16]
1.      Adanya emanasi dari masing-masing cahaya yang berada di bawah Nur al-Anwar. Cahaya-cahaya ini benar-benar ada dan diperoleh (yahshul) namun berbeda pada tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan. Cahaya-cahaya itu bercirikan: (a) ada sebagai cahaya abstrak, (b) mempunyai gerak ganda, mencintai (yuhibbuh) serta melihat (yusyahiduh) yang di atasnya dan mengendalikan (yaqharu) serta menyinari (asyraqah) apa yang ada di bawahnya. (c) mempunyai atau mengambil “sandaran” di mana sandaran ini mengimplikasaikan sesuatu, seperti “zat” yang disebut barzah, dan mempunyai “kondisi” (hay’ah); zat dan kondisi ini sama-sama berperan sebagai “wadah” bagi cahaya. (d) mempunyai sesuatu semisal “kualitas” atau sifat, yakni “kaya” (ghani) dalam hubungannya dengan cahaya di bawahnya dan “miskin” (fakir) dalam kaitannya dengan cahaya di atas. Ketika cahaya pertama melihat Nur al-Anwar dengan berlandaskan dengan cinta dan kesamaan, ia memperoleh cahaya abstrak yang lain. Sebaliknya ketika cahaya perrtama melihat kemiskinannya, ia memperoleh “zat” dan “kondisi”nya sendiri. proses ini terus berlanjut, sehingga menjadi bola dan dunia dasar (elemental world).
2.      Proses ganda iluminasi dan visi (penglihatan). Ketika cahaya pertama muncul, ia mempunyai visi langsung pada Nur al-Anwar tanpa durasi dan pada “momen” tersendiri Nur al-Anwar menyinarinya sehingga “menyalakan” cahaya kedua dan zat serta kondisi yang dihubungkan dengan cahaya pertama. Cahaya kedua ini pada prosesnya menerima tiga cahaya, dari Nur al-Anwar secara langsung, dari cahaya pertama dan Nur al-Anwar yang tembus lewat cahaya pertama. Proses ini terus berlanjut dengan jumlah cahaya meningkat sesuai dengan urutan 2n-1 dari cahaya pertama.
Lebih lanjut lagi mengenai konsep kosmologi Suhrawardi, ia membagi alam kepada empat tingkatan, yaitu:[17]
1.      Alam cahaya dominator (‘alam al-anwar al-qahirah), yaitu alam cahaya-cahaya mujarradad al-‘aqliyyah yang terbebas dari bentuk sama sekali, mereka adalah pasukan Allah dan para malaikat yang dekat dengan Allah serta para hamba yang ikhlas (mukhlish)
2.      Alam cahaya-cahaya pengatur (‘alam al-anwar al-mudabbirah al-isfahbadiyyah al-falakiyah wa al-insaniyyah)
3.      Alam bentuk (‘alam al-ajsam) yang terdiri atas dua alam barzakh (barzakhiyyani), yaitu alam materi (alam indrawi, ‘alam al-hissi) salah satunya adalah alam barzakh falak-falak (barzakhiyyah al-falak) yang di dalamnya terdapat bintang-bintang (al-kawakib) sedangkan yang lainnya adalah alam barzakh anasir-anasir yang di dalamnya terdapat unsure-unsur gabungan (al-murakkabat)
4.      Alam citra dan alam imajiner (‘alam al-mitsal wa al-khayal) atau disebut juga alam bayangan murni. Di dalam alam ini akan terlihat bagaimana jasad dibangkitkan kembali dan segala yang pernah dijanjikan melalui risalah kenabian.
Begitulah pembagian ataupun pengelompokan alam menurut Suhrawardi. Namun semua fenomena alam yaitu hujan, awan, halilintar, meteor, guntur, adalah berbagai kerja dari prinsip imanen gerak ini, dan diterangkan oleh operasi langsung dan tidak langsung Cahaya Pertama atas segala sesuatu, yang satu sama lainnya berbeda dalam kapasitas penerimaan banyak-sedikitnya penerangan. Singkatnya, Alam Semesta ialah suatu hasrat yang membawa suatu kristalisasi kerinduan kepada cahaya.[18]
  1. Kesimpulan
Jadi bisa kami simpukan bahwa adanya emanasi dari masing-masing cahaya yang berada di bawah Nur al-Anwar. Pendapat Suhrawardi adalah Cahaya-cahaya ini benar-benar ada dan diperoleh (yahshul) namun berbeda pada tingkat intensitasnya yang menjadi ukuran kesempurnaan. Cahaya-cahaya itu bercirikan yaitu:
Pertama ada sebagai cahaya abstrak,
kedua mempunyai gerak ganda, mencintai (yuhibbuh) serta melihat (yusyahiduh) yang di atasnya dan mengendalikan (yaqharu) serta menyinari (asyraqah) apa yang ada di bawahnya.
Ketiga mempunyai atau mengambil “sandaran” di mana sandaran ini mengimplikasaikan sesuatu, seperti “zat” yang disebut barzah, dan mempunyai “kondisi” (hay’ah); zat dan kondisi ini sama-sama berperan sebagai “wadah” bagi cahaya.
Keempat mempunyai sesuatu semisal “kualitas” atau sifat, yakni “kaya” (ghani) dalam hubungannya dengan cahaya di bawahnya dan “miskin” (fakir) dalam kaitannya dengan cahaya di atas. Ketika cahaya pertama melihat Nur al-Anwar dengan berlandaskan dengan cinta dan kesamaan, ia memperoleh cahaya abstrak yang lain. Sebaliknya ketika cahaya perrtama melihat kemiskinannya, ia memperoleh “zat” dan “kondisi”nya sendiri. proses ini terus berlanjut, sehingga menjadi bola dan dunia dasar (elemental world).
  1. Penutup
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa inti pemikiran falsafah Suhrawardi adalah pancaran cahaya (iluminasi, isyraqi). Alam semesta ini merupakan pancaran dari Cahaya Yang Utama (Tuhan), hanya saja setiap yang tercipta dapat dibedakan dari intensitas cahaya yang mereka terima. Semakin dekat sesuatu dengan cahaya yang menciptanya yaitu cahaya yang paling sempurna, maka semakin sempurnalah sesuatu itu, dan hal itu hanya dapat dipertemukan dengan cara dzauq yang hanya dipahami oleh orang-orang yang telah mengerti tasawuf.
Selain itu, iluminasi dalam tasawuf juga merupakan suatu garis perjalanan vertikal seorang hamba yang ingin lebih dekat dengan Tuhannya, tak hanya jalan vertikal, melainkan juga suatu perjalanan horizontal seorang hamba (manusia) dalam mencari keberkahan melalui hubungannya dengan hamba-hamba atau pun makhluk hidup lainnya, sebagai bentuk cinta kasih seorang hamba kepada Tuhannya.
  1. DAFTAR PUSTAKA
Ø  Drajat, Amroeni, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005.
Ø  Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Ø  Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.


[1] Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 40
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm. 143
[3] Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 30
[4] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999, hlm. 144-145

[5] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 120-121
[6] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 121
[7] A. Khudori Soleh, Ibid, hlm. 122
[8]A. Khudori Soleh, Ibid, hlm. 123
[9] Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, Yogyakarta: LKiS, 2005, hlm. 223
[10]Amroeni Drajat, Ibid, hlm. 224
[11] A. Khudori Soleh, Ibid, hlm. 123-124
[12] Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik, hlm. 231-232
[13] Hasyimsyah Nasution, Ibid, hlm. 154
[14] Hasyimsyah Nasution, Ibid, hlm. 154
[15] Amroeni Drajat, Ibid, hlm.243-244
[16] A. Khudori Soleh, Ibid, hlm. 125-126
[17] Amroeni Drajat, Ibid, hlm. 248
[18] Hasyimsyah Nasution, Ibid, hlm. 160

Tidak ada komentar:

Posting Komentar